[Buku] Kopi, Pagebluk, dan Kota: Menyulam Wajah Kota Malang Di Era Kolonial

0
Judul buku: Kopi, Pagebluk, dan Kota. Menyulam Wajah Kota Malang Di Era Kolonial
Penulis: Pipit Anggraeni, Aisyah
Editor: Zainul Arifin
ISBN: 978-623-95424-1-2
Halaman: xvi+118
Penerbit: Terakota bekerjasama dengan Beranda, Intrans Publishing, Malang, 2021
Kontributor: Abdul Malik, Malang
Koleksi: Museum Musik Indonesia

MALANG memang menjadi magnet sejak lama. Mula-mula Malang hanyalah sebuah daerah kecil di pedalaman.Lalu tumbuh luar biasa pesat seiring dengan liberalisasi di Hindia Belanda. Perkebunan kopi bermunculan di selatan Malang laksana jamur di musim hujan. Karena kopi, Belanda tak ragu membangun Malang demi mereguk keuntungan ekonomi.

Karena kopi pula, jalur rel kereta api dibangun menembus hutan belantara Malang, berdiri gagah di atas Daerah Aliran Sungai Brantas.Jalur rel trem turut membelah jantung kota, demi mengangkut biji kopi dari pedalaman, lalu dikirim oleh perusahaan-perusahaan swasta ke berbagai penjuru dunia.

Moda transportasi massal pengangkut manusia dan hasil perkebunan itu turut andil dalam mempercepat penyebaran wabah Pes di Malang.Akibat kegagapan pemerintah kolonial, wabah mengerikan merenggut ribuan korban jiwa dari rakyat jelata. Desa dan kampung dibumihanguskan demi mencegah penyebaran wabah.

Wabah ikut berperan dalam mengubah wajah kota, membuat pemerintah kolonial menata permukiman penduduk sedemikian rupa. Wabah juga menjadi salah satu alasan Belanda tak ragu mempercepat penetapan Kotamadya Malang. Bisa dibilang, kopi dan wabah menjadi titik simpul pembentuk Kota Malang.

Namun demikian, kondisi topografis Malang tak dapat dipungkiri menjadi satu poin penting dalam menentukan perencanaan pengembangan kota. Sebuah kota yang didesain layaknya kota taman. Kota yang nyaman untuk dihuni dan menjadi tempat peristirahatan bagi meneer dan noni Belanda selama 100 tahun ke depan.

Buku Kopi, Pagebluk, dan Kota. Menyulam Wajah Kota Malang Di Era Kolonial disusun oleh Pipit Anggraeni, Aisyah dan Zainul Ariifn sebagai editor. Hadir untuk menyajikan ikhwal muasal berdirinya sebuah kota dengan segala elemen pembentuknya, menjadi pembanding bagaimana manusia dan kotanya tumbuh seiring perkembangan jaman.Buku setebal 118 halaman tersebut, pada bagian pertama, membahas kondisi Malang yang yang sangat terkenal akan perkebunan kopinya.Hasil diskusi bersama Sejarawan UM, Dr.R.Reza Hudiyanto, M.Hum. Penulisan mengenai sejarah kereta api di bagian kedua sepenuhnya bersumber dari diskusi bersama Pemerhati Kereta Api, Tjahja Indra Kusuma.Beberapa dokumen menunjukkan bahwa ketika itu, ada begitu banyak jalur trem di Malang, namun kemudian tertutup oleh aspal, lantaran adanya perubahan teknologi transportasi yang berkembang. Bergeser pada bagian tiga, akan dibahas mengenai sejarah penyait di Malang.Penyakit yang menimpa masyarakat Malang kala itu tak jauh berbeda dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini. Wabah yang menyerang ketika itu dikenal sebagai wabah pes (bubonic plague) dan telah membuat nyawa melayang. Pembahasan mengeni kondisi Malang saat diserang wabah pes tersebut sepenuhnya bersumber dari Peneliti Sejarah Penyakit, Syefri Luwis. Bagian empat membahas perencanaan tata kota dan arsitektur Kota Malang di era kolonial.Pembahasan sepenuhnya bersumber dari buku Perkembangan Kota & Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, yang ditulis oleh Handinoto, dosen jurusan Arsitektur UK Petra Surabaya.Perencanaan kota Malang tak lepas dari Herman Thomas Karsten sebagai Adviseur atau penasihat perencanaan Kota Malang 1929-1935.

Buku ini menyajikan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Dari fakta sejarah itu kita bisa belajar, agar tak terus berulang jatuh ke masalah yang sama. Fakta sejarah itu tetap relevan dengan situasi di masa pandemi ini, dalam menangani pandemi serta pembangunan kota yang lebih manusiawi.

Buku Kopi, Pagebluk, dan Kota. Menyulam Wajah Kota Malang Di Era Kolonial dapat menjadi panduan untuk mengenal dan mengetahui sejarah Kota Malang. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here