Orkes Angklung Padaeng – Angklung

0

WEST JAVA

Type of Collection: Vinyl 10”
Artist: Orkes Angklung Padaeng, SMAN I Bandung
Leader No Data: Sanu’I Edia S
Album Tittle: Angklung
Origin: West Java
Language: Indonesia, Dutch
Label: Lokananta
Year of Release: No Data
Serial Number: DN-009
Contributor: Museum Musik Indonesia

Reference Link: https://www.djuned.com/2019/09/angklung-padaeng.html

Tracklist

No.Song TitleSongwriterVocal
1.Hallo2 BandungIsmail Mz.Instrumental
2.Telaga BiruArimahToersini
3.Bandung Selatan di Waktu MalamIsmail Mz.Etty Handa
4.Rajuan Pulau KelapaIsmail Mz.Instrumental
5.Dari Barat sampai ke TimurR SoerarjoInstrumental
6.Colonel Boogie marsJ. Philip SousaInstrumental
7.Donau WallenIvanoviciInstrumental
8.An der schonen blauen DonauJohan StraussInstrumental

Biography

Padaeng or Daeng Soetigna was originally a teacher and graduated from the Teacher’s School in 1928 then continued the Music School in Jakarta. He graduated from Australia Music Academy and in 1955. His interest in angklung grew and developed since entering the Music School. He truly realized that the angklung that had existed since the seventeenth century had almost disappeared. So thanks to his talent and passion, along with a great desire to revive angklung, a diatonic angklung was made and successfully played in a Scouting Rally in Bandung.

After making several other achievements, Padaeng received the title as Bapak Angklung (The Father of Angklung) and gained the trust of the President’s Palace so that he was always ready with his angklung group to fill official state events. Then his angklung group was given the name Angklung Padaeng.

One of the cadres from Angklung Padaeng is Sanu’I Edia S, a teacher in Bandung who leads the Angklung Padaeng Orchestra at SMA Negeri 1 Bandung.

About Album

This album contains eight songs, five songs using Indonesian titles and 3 songs with Dutch titles. There are only two songs that are equipped with vocals from singers named Toersini and Etty Handa. The other six songs were played instrumentally using angklung, which is a traditional musical instrument from West Java.

This recording in the form of a 10” or 25 cm vinyl record was made on the initiative of the West Java Regional Government. Production was carried out by Lokananta in Surakarta with the serial number DN 009. The first release of this record is estimated before 1971.

Story

Angklung is a traditional musical instrument from West Java. Angklung is made of bamboo blades arranged in such a way that when it is vibrated or shaken it produces a distinctive sound. To get a harmonious tone, angklung must be played by many people. Because one angklung only represents one scale or one note.

Angklung is one of the charms of Indonesian culture which is an attraction for foreign tourists. Moreover, UNESCO has recognized angklung as a World Cultural Heritage, and is included in the Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity.

One of Indonesia’s tourism destinations that makes angklung as an attraction is the Saung Angklung Mang Udjo Art Studio in Bandung. Mang Udjo is not alone. Since 1938, Daeng Soetigna has developed diatonic angklung. This work is considered a tradition breaker, because the angklung musical instrument which originally used pentatonic scales was changed to diatonic.

The pentatonic angklung is only able to play five notes, so it is commonly used to play Sundanese and Javanese music. After being changed to diatonic, the angklung has seven notes that are one and a half notes apart or commonly known as do-re-mi-fa-so-la-si-do. With Pak Daeng’s findings, angklung can be used to play various kinds of songs, including foreign songs.

A year after Indonesia’s independence, on November 11, 1946, when the Linggarjati Negotiations were held in Kuningan Regency, West Java, Daeng Soetigna was trusted by the President to hold his angklung performance. Twelve days later the performance was repeated again, this time at the State Palace during a reception in connection with the withdrawal of British and Indian troops from Indonesia.

As a teacher, Padaen’s career continues. In 1956 when he returned from the Kangaroo Country, he was appointed as a sound art teaching consultant in schools in Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Balige, and Ambon. He also served as Head of the West Java Cultural Bureau in 1957 followed by the position of Head of the Bandung Karawitan Conservatory.

Then, in 1964, Pak Daeng retired from civil service. Daeng Soetigna was born in Garut on May 13, 1908 and died in 1983 in Bandung at the age of 75 years.

Important Value

Daeng Sutigna’s spirit to preserve angklung deserves appreciation. His efforts to develop angklung which was originally a musical instrument with a pentatonic tone to a diatonic tone made angklung spread more widely.

(Writer: Hengki Herwanto-Indonesian Music Museum)

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 

Biography

Padaeng atau Daeng Soetigna awalnya adalah seorang guru dan menamatkan Sekolah Guru pada tahun 1928 lalu melanjutkan Sekolah Musik di Jakarta,  terus ke Australia dan lulus tahun 1955. Minatnya terhadap angklung tumbuh dan berkembang sejak masuk ke Sekolah Musik. Diinsyafinya betul-betul bahwa angklung yang sudah ada sejak abad XVII hampir lenyap. Maka berkat bakat serta kesenangannya, disertai hasrat yang besar untuk menghidupkan kembali angklung, dibuatlah angklung diatonis dan berhasil dimainkan dalam suatu Rally Kepanduan di Bandung.

Setelah mengukir beberapa prestasi lainnya, Padaeng memperoleh sebutan sebagai Bapak Angklung dan memperoleh kepercayaan Istana sehingga selalu siap dengan rombongan angklungnya untuk mengisi acara-acara resmi kenegaraan. Rombongan atau kelompok angklung ini kemudian diberi nama Angklung Padaeng.

Salah satu kader dari Angklung Padaeng adalah Sanu’I Edia S, seorang guru di Bandung yang memimpin Orkes Angklung Padaeng SMA Negeri 1 Bandung.    

About Album

Album ini berisi delapan buah lagu, lima lagu mempergunakan judul Bahasa Indonesia dan 3 lagu dengan judul Bahasa Belanda. Hanya ada dua lagu yang dilengkapi dengan vocal dari penyanyi Toersini dan Etty Handa. Enam lagu lainnya dimainkan secara instrumentalia dengan mempergunakan angklung yang merupakan instrument musik dari Jawa Barat.

Rekaman berupa piringan hitam (vinyl) berukuran 10” atau sekitar 25 cm ini dibuat atas prakarsa Pemerintah Daerah Jawa Barat. Produksi dilakukan oleh Lokananta di Surakarta dengan nomor seri DN 009. Peredaran pertama rekaman ini diperkirakan sebelum tahun 1971.

Story

Angklung adalah instrumen musik tradisional dari Jawa Barat. Angklung terbuat dari bilah-bilah bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga saat digetarkan atau digoyangkan menghasilkan bunyi yang khas. Untuk mendapatkan nada yang harmonis, angklung harus dimainkan oleh banyak orang. Sebab satu angklung hanya mewakili satu tangga nada saja.

Angklung termasuk salah satu pesona budaya Indonesia yang menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. Terlebih, UNESCO telah mengakui angklung sebagai Warisan Budaya Dunia, dan masuk dalam daftar Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity.

Salah satu destinasi pariwisata Indonesia yang menjadikan angklung sebagai sebagai daya tariknya adalah Sanggar Seni Saung Mang Udjo di Bandung. Mang Udjo tidak sendirian. Sejak tahun 1938, Daeng Soetigna mengembangkan angklung diatonis. Karya ini dianggap merupakan pendrobrak tradisi, sebab alat musik angklung yang mulanya menggunakan tangga nada pentatonis diubah menjadi diatonis.

Angklung yang bernada pentatonis hanya mampu memainkan lima nada, sehingga biasa digunakan untuk memainkan alunan musik Sunda maupun Jawa. Setelah diubah jadi diatonis, angklung jadi memiiki tujuh nada yang berjarak satu dan setengah nada atau yang biasa dikenal dengan do-re-mi-fa-so-la-si-do. Dengan temuan Pak Daeng inilah, angklung jadi bisa digunakan untuk memainkan berbagai macam lagu, hingga ke lagu-lagu mancanegara.

Setahun setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 11 November 1946, waktu diadakan Perundingan Linggarjati di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Daeng Soetigna medapat kepercayaan Presiden untuk menyelenggarakan pertunjukan angklungnya. Dua belas hari kemudian pementasannya berulang lagi, kali ini di Istana Negara dalam acara resepsi sehubungan dengan penarikan tentara Inggris dan India dari Indonesia.

Sebagi guru, karier Padaen terus berlanjut. Tahun 1956 saat pulang dari Negeri Kangguru, beliau diangkat menjadi konsultan pengajaran seni suara di sekolah-sekolah di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Balige, dan Ambon. Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat di tahun 1957 dilanjutkan dengan jabatan sebagai Kepala Konservatori Karawitan Bandung.

Kemudian, di tahun 1964, Pak Daeng menjalani masa pensiun dari pegawai negeri sipil.

Daeng Soetigna lahir di Garut pada tanggal 13 Mei 1908 dan meninggal  tahun 1983 di Bandung pada usia 75 tahun.

Nilai Penting

Spirit dari Daeng Sutigna untuk melestarikan angklung layak memperoleh apresiasi. Usahanya mengembangkan angklung yang semula merupakan instrument musik dengan nada pentatonis menjadi diatonis menjadikan angklung menyebar lebih luas.

(Writer: Hengki Herwanto-Museum Musik Indonesia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here