Bens Leo adalah nama yang lekat dengan bisnis pertunjukan. Peran Bens Leo di dunia “showbiz,” seperti tercermin di buku “Bens Leo dan Aktuil, Rekam Jejak Jurnalisme Musik” (Museum Musik Indonedia dan Media Nusa Creative Publishing, 2021), serupa kerani yang dengan tekun mencatat, mendokumentasikan, dan mewartakan perkembangan industri kreatif Indonesia.
Buku ini tak hanya merekam sepak terjang Bens Leo sebagai wartawan musik melainkan menggambarkan pula kiprah Bens Leo sebagai peoduser, event organizer, penjurian festival seni dan budaya hingga pemandu bakat. Dengan kata lain, buku ini mengungkap sisi lain Bens Leo yang sebelumnya kadung dikenal khalayak sebagai wartawan musik belaka.
Mengaktualkan Aktuil dan Aktuiler
Aktuil adalah majalah musik yang terbit pertama kali pada 1967 dan berhenti terbit pada 1978. Sedangkan aktuiler merupakan sebutan bagi pembaca setia Aktuil. Dengan terbitanya buku ini, Bens Leo secara tak langsung telah mengaktualkan Aktuil dengan aktuilernya di masa sekarang.
Majalah Aktuil terbit berkat kerja tokoh-tokoh penting di balik jurnalisme musik seperti Denny Sabri, Bob Avianto, dan Toto Rahardjo. Bens Leo bergabung pada 1971, setahun setelah Remy Sylado terlibat. Bens Leo sendiri mengakui Aktuil adalah “Kawah Candradimuka” bagi kiprah jurnalismenya hingga Bens Leo, seperti diakui Toto Raharjdo (Halaman 221) memiliki “insting jurnalisme yang tajam.”
Dalam rentang waktu penerbitan yang relatif singkat itu, Aktuil meninggalkan jejak mendalam pada perkembangan seni pertunjukan Indonesia. Nama-nama kondang musisi dan kugiran (sebutan khas Aktuil untuk grup musik) yang kini menjadi legenda seperti God Bless, Koes Plus, Panbers, D’lloyd, The Rollies, AKA, Guruh Gipsy, SAS, Giant Step, Arthur Kaunang, Leo Kristi, Jack Lesmana, Gesang, Ibu Kasur, Bubi Chen, Broery Marantika, Idris Sardi, Harry Roesli, Chrisye, dan masih banyak lagi nama lainnya, tak bisa dilepaskan dari pemberitaan Aktuil.
Kiprah monumental Aktuil tercatat di tahun 1975 saat Aktuil berhasil memanggungkan grup musik legendaris asal Inggris, pemegang rekor grup musik paling berisik di dunia dan berhasil menjual lebih dari 100 juta album di seluruh dunia, Deep Purple. Aktuil juga mementaskan penyanyi asal Amerika Susan Kay Quatro alias Suzi Quatro pada 1976, di mana dari hasil wawancara Bens Leo terungkap jika Suzi Quatro terpikat gamelan ludruk. (Halaman 75 s.d 77).
Sejatinya, Aktuil lebih dari sekadar majalah musik karena di majalah ini pemberitaan seputar teater juga mendapat tempat seperti saat dramawan dan penyair Rendra diwawancara Bens Leo. Di Aktuil juga terdapat prosa dan puisi hingga melahirkan corak puisi mbeling dalam peta perpuisian Indonesia.
Kultur musikal
Buku ini terbagi dalam tiga bagian besar pertama, meliputi wawancara Bens Leo dengan para musisi, tulisan lepas Bens Leo, dan laporan peliputan Bens Leo saat menjadi wartawan Aktuil perwakilan Jakarta; kedua, berisi tulisan otobiografis Bens Leo dan ketiga, memuat testimoni tentang Bens Leo dari sahabat, kolega, dan para musisi Indonesia dari berbagai generasi.
Dari lembar demi lembar tulisan Bens Leo di Aktuil terbaca bagaimana proses produksi, distribusi, replikasi, dan interpretasi kreatif musisi-musisi Indonesia era 70an terhadap musik-musik luar negeri dan musik tradisional dalam negeri.
Melalui buku ini pula terpahami bagaimana proses-proses tersebut berkaitan dengan pihak-pihak lain termasuk produser, musisi dan atau performer, dengan para pendengar atau audiensnya hingga melahirkan apa yang disebut antropolog dan etnomusikolog Jeremy Wallach (2008) sebagai “kultur musikal.”
Kekhasan kultur musikal di masa lalu seperti terbaca dari buku ini adalah lanskap musik menunjukan kontestasi, hibridisasi, dan akomodasi hingga membentuk sebuah ekspresi musikal yang khas Indonesia. Pengaruh band-band luar negeri seperti The Beatles, Rolling Stones, Deep Purple, Led Zeppelin, Rainbow, Yes, Chicago, Genesis, Black Sabbath dan lainnya terasa kental dalam permainan musik grup-grup era 70an di tanah air.
Kultur musik di masa itu merupakan arena persaingan terbuka antara satu musisi atau grup musik dengan musisi atau grup musik lain. Benny Panjaitan dari Panbers dengan bebas mengomentari gaya bermusik grup-grup musik yang kerap memainkan lagu dari grup musik luar negeri, para personnil God Bless dengan percaya diri memberikan tanggapan atas permainan komplotan pemusik dari band pengiring Suzi Quatro, setelah God Bless bertugas sebagai band pembuka konser Suzi Quatro.
Slamet Abdul Syukur, jebolan Ecole Normale de Musique de Paris, mengkritik Harry Roesli dan Guruh Soekarno Putra, Yockie Suryo Prayogo kecewa pada Berlian Hutauruk dalam kegaduhan di balik meledaknya album Badai Pasti Berlalu, hingga keluh kesah Benyamin S pada cukong-cukong di balik industri musik, serta masih banyak contoh lain di buku ini yang memperlihatkan interaksi sesama musisi maupun antara musisi dengan para pelaku industri musik di masa itu.
Masalah hak cipta ternyata sudah disinggung oleh musisi era 70an seperti Benny Panjaitan dari Panbers. Kendati demikian, sejauh terbaca dari buku ini, tak semua musisi getol memperjuangan masalah hak cipta. Fenomena ini barangkali terjadi lantaran ekspresi bermusik sebagian dari musisi-musisi di masa itu, lebih merupakan sebuah sarana untuk bersosialisasi dan pelampiasan kegemaran alih-alih sebagai karya cipta yang otentik berdasarkan pengalaman estetik (musik) personal.
Tanggapan kritis
Dari buku ini kita bisa melihat bagaimana budaya musikal yang diprakarsai kawula muda perkotaan mulai menampakkan diri dari sebuah negara yang baru saja menjadi sorotan dunia internasional setelah geger persitiwa 30 September 1965. Pada saat nyaris bersamaan di belahan dunia Barat terutama di Amerika dan Eropa, antara 60an dan 70an merupakan kurun waktu yang paling atraktif dalam gelombang protes dari kalangan akademisi, seniman, musisi dan lain sebagainya atas kekejaman kolonialisme di negara-negara Dunia Ketiga.
Melalui buku ini, pembaca juga bisa merasakan bagaimana jurnalisme musik semakin mendapat tempat di hati masyarakat kelas menengah kota-kota besar di Indonesia.
Tapi, minimnya informasi tentang perkembangan musik era sebelumnya, membuat saya kesulitan menemukan kesamaan dan perbedaan musik era 70an yang dikemukakan buku ini dengan musik-musik era 50an dan awal 60an.
Tentu saja, masalah di muka bukan perkara mendasar karena buku ini sepertinya tidak bertujuan untuk menerangkan secara terperinci perbedaan ekspresi musikal era 70an dengan era sebelumnya, tapi, seandainya buku ini ditambahkan sedikit informasi tentang dinamika musik era 50an dan 60an awal, barangkali akan menambah wawasan dan keasyikan pembaca menikmati buku ini. Selain itu, ukuran font yang bagi saya terasa kecil membuat perlu sedikit kerja keras membacanya.
Terlepas dari kekurangan di muka, buku “Bens Leo dan Aktuil, Rekam Jejak Jurnalisme Musik” adalah dokumen penting dalam terang kultur musikal Indonesia. Bens Leo tidak sekadar melihat dan mencatat satu tahapan dari perkembangan industri musik di masa lalu, melainkan turut aktif dalam denyut industri musik seperti tampak dari keterlibatan Bens Leo di pelbagai penjurian festival seni dan budaya dari masa ke masa.
Sekian.
Sumber:
Facebook Khudori Husnan
8 Oktober 2021
https://www.facebook.com/khudori.husnan.7