[Buku Musik] 2 Kutub

0
Judul: 2 KUTUB
Penulis: Suwarmin, Gamantyo Hendrantoro
Desain sampul: Kang Madrim
Tebal: 140 halaman + x
Cetakan pertama: Maret 2009
ISBN: 978-979-18793-3-0
Penerbit: Dewan Kesenian Jawa Timur
Sumbangan: Dewan Kesenian Jawa Timur
Koleksi: Museum Musik Indonesia

Pengantar Penerbit

Ucapan terima kasih kepada dua orang penulis buku ini, Mas Gam (Gamantyo Hendrantoro) dan Mas Warmin (Suwarmin), tentu saja saya buka pengantar buku ini. Hal tersebut semata-mata karena begitu antusiasnya beliau berdua dalam merealisasikan program penerbitan buku oleh Dewan Kesenian Jawa Timur ini.

2 Kutub merupakan wujud dikotomis dari wilayah-wilayah yang bertolak belakang-seperti latar belakang penulisnya pun demikian-akan tetapi dari kebertolakbelakangan itu bukan berarti tidak dapat diharmonisasikan. Buku inilah bukti keharmonisan kedua kutub tersebut.

Ditengah kesibukannya sebagai seorang yang sangat dekat dengan dunia teknologi, aktif di Institut Teknologi Surabaya, ternyata Mas Gam masih mau dan mampu menyisikan sebagian kecil waktunya untuk menulis dengan ukup detail dalam menjabarkan musik progresif, yang selama ini memang menjadi bagian dari harinya.

Musik progresif adalah musik yang lumayan rumit untuk didefinisikan, penikmat dan pelauknya juga orang-orang tertentu saja, meskipun keberadaan dan eksistensinya sudah cukup lama berdenting di negeri kita. Beberapa album sudah dilahirkan, memiliki komunitas dan juga dilangsungkan beberapa festival. Musik progresif bisa dikatakan sebagai Hybride Music dan juga sangat bisa dikatakan sebagai musik kontemporer.

Disisi lain, Panjak Hore adalah musik komponen dalam pergelaran (ritual) Sandur Tuban. Tulisan dalam buku ini sejatinya merupakan tesis Suwarmin, dosen karawitan STKW Surabaya-sebagai pemenuhan tugas akhir untuk menyelesaikan Studi Magister seni musik di ISI Surakarta.

Pagi itu di ruang tamunya yang bersih dan sederhana, didaerah Buduran, Mas Suwarmin menyetujui tesisnya dijadikan buku musik. “Tapi ya tolong diedit sendiri, mana yang dipakai dan mana yang tidak, Cuma judulnya Panjak Hore saja ya.” Saya sangat setuju. Dan saya ketiban sampur untuk jadi tukang edit-lebih tepatnya mrotholi tesisnya Mas Warmin untuk jadi buku.

Dewan Kesenian Jawa Timur sangat berharap 2 KUTUB ini ketika dibaa dapat menjadi bacaan yang bermanfaat bagai wawasan dan perkembangan dunia musik kita.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bli (I Wayan Sadra) yang telah memberi pandangan kepada saya untuk mengangkat kedua tema tersebut. Juga kepada teman-teman yang membuat 2 KUTUB ini terealisasi.

Surabaya, 2 Februari 2009

Nasar Bathati

Daftar isi

1. Panjak Hore, Suwarmin, tesis S2 pada ISI Surakarta

-Pendahuluan
-Pertunjukan Sandur Ronggo Budoyo di Desa Bektiharjo
-Kedudukan Musik Dalam Pertunjukan
-Pertunjukan Sandur Sebagai Ungkapan Ritual
-Penutup

Keberadaan pertunjukan (seni) tradisi di Indonesia sangat erat hubungannya dengan kegiatan ritual dan atau upacara adat masyarakatnya (Supanggah, 1995). Pengertian keterkaitan bisa pertunjukan sebagai sarana ritual dan bisa pertunjukan sebagai kegiatan ritual (pertunjukan ritual) atau ritual yang diungkapkan melalui bentuk pertunjukan (ritual pertunjukan). Pertunjukan ritual dan ritual pertunjukan bisa dipahami dalam pengertian yang sama.

Pengertian kedua tersebut yang digunakan sebagai pijakan pemikiran dalam kajian ini, yang selanjutnya digunakan istilah “pertunjukan ritual”. Mengkaji pertunjukan sebagai ungkapan ritual akan mengkaji bagaimana sebuah kegiatan ritual mewujud dalam bentuk pertunjukan. Hal tersebut dianggap penting untuk memberi pemahaman, bahwa suatu pertunjukan tidak selalu sebagai presentasi apresiasi, tontonan atau hiburan. Pemilahan mana saja dan bagai mana kreterianya pertunjukan ritual dan nonritual secara jelas di Indonesia belum ada.

Kategorisasi seni pertunjukan berdasarkan tingkat kesakralannya seperti yang terjadi di Bali (Djelantik, 1999; Soedarsono, 1999:17-24), merupakan pertanda adanya pemahaman dan kesadaran untuk memposisikan seni pertunjukan secara benar menurut konteks sosial budayanya. Untuk menjaga nilai sakral seni pertunjukan dari berbagai pengaruh rongrongan para wisatawan yang selalu ingin tahu, maka perlu ditentukan batas-batas yang jelas dan ketat mana pertunjukan yang bisa ditonton umum dan mana yang sakral atau keramat bukan untuk umum. Bila ada keinginan wisatawan untuk menonton pertunjukan ritual yang sangat disakralkan, maka dibuatkan tiruannya, sehingga tidak mengganggu dan tetap menjaga serta menghormati yang sakral .
Di daerah Madura, pertunjukan ritual masih hidup subur dalam masyarakat (Bouvie, 2002:179-190). Seperti juga di daerah lain terutama daerah pedesaan di Indonesia. Pelaksanaan pertunjukan ritual berhubungan dengan kebutuhan praktis sehari-hari seperti: kesuburan, kesejahteraan, keselamatan, permohonan atau ungkapan rasa syukur (Kusmayati, 2003:205-212).

Pergeseran pertunjukan ritual menjadi pertunjukan tontonan atau hiburan sering terjadi dimana-mana. Dalam kehidupan berbudaya hal tersebut sah-sah saja (Kusmayati, 2003:205-212; Rustopo, 2003).

Suatu pergeseran bersifat progresif apabila didasari dengan pemahaman dan kesadaran bagaimana kedudukan pertunjukan tersebut dalam konteks budaya masyarakatnya. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa suatu pertunjukan tidak selalu dipahami sebagai tontonan atau hiburan, tetapi juga sebagai ungkapan ritual.

Di sisi lain penelitian tentang pertunjukan ritual di Indonesia masih jarang dilakukan. Penelitian tentang ritual yang pernah dilakukan cenderung bertujuan untuk pelestarian, sehingga berorientasi pada mencari identitas ritual (Endraswara, 2003:109). Kajian pertunjukan maupun pertunjukan ritual masih terbuka luas. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kajian pertunjukan dari aspek ritual masih sangat diperlukan dan penting. Penelitian yang dikaitkan dengan cabang-cabang budaya yang lain, akan mengarah pada penelitian yang bersifat interdisipliner. Uraian tersebut yang melatar belakangi penelitian dalam penyusunan tesis ini untuk meneliti pertunjukan Sandur Ronggo Budoyo, desa Bektiharjo, Semanding, Tuban, Jawa Timur dari aspek ritual.
Pertunjukan Sandur di Jawa Timur mempunyai pengertian yang beragam. Dalam Ensiklopedi Seni Musik dan Seni Tari Daerah Jawa Timur (1996-1997) diterangkan bahwa pertunjukan Sandur di empat daerah, yaitu Madura, Jember, Lumajang dan Tuban yang masing-masing mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Di Madura Sandur merupakan pertunjukan yang mengutamakan nyanyian dan sindir-menyindir berbahasa Madura sebagai selingan mamaca. Di Jember selain nyanyi dan sindir-menyindir, diisi juga permainan magis dimana seseorang dijadikan sebagai medium untuk mendatangkan roh. Dalam keadaan tak sadar bisa dimintai petunjuk seperti kehilangan sesuatu. Di Lumajang dan sekitarnya sandur merupakan drama seperti ludruk dengan iringan kenong telok.
Pertunjukan Sandur yang terdapat di daerah Tuban mempunyai bentuk serta pemanggungan yang khas dan berbeda. Pertunjukan berlangsung semalam, dengan menggunakan iringan musik mulut yang terdiri dari sekitar 30 orang. Cerita yang disajikan kehidupan pertanian dengan perannya terdiri dari Tangsil, Cawik, Pethak, dan Balong. Awal pertunjukan diadakan ritual dan berbagai bentuk sesaji untuk mendatangkan 44 bidadari. Dalam kajian ini penulis memfokuskan diri pada perkumpulan Sandur Ronggo Budoyo, desa Bektiharjo, Semanding, Tuban, Jawa Timur yang dipimpin Sakrun (45 tahun).

Sandur (pertunjukan) Ronggo Budoyo dapat dikatakan sebagai jenis pertunjukan rakyat yang khas dan unik. Disebut khas karena penyebarannya hanya terdapat di daerah tertentu, yakni di wilayah kabupaten Tuban. Dikatakan unik karena bentuk dan penampilannya yang kompleks terdiri dari unsur teatrikal, humor, iringannya musik mulut, dengan perlengkapan berbagai sesaji, selalu dilakukan di tanah lapang dan kesan religius magis begitu kuat.

Secara sepintas pertunjukan Sandur merupakan pertunjukan rakyat yang digelar di tanah lapang atau halaman. Tempat pertunjukan berbentuk arena bujur sangkar dengan sisi-sisi sekitar 6 meter, dikelilingi dengan tali sebagai batas. Di tengah sisi timur dan barat masing-masing dipancangkan sebatang bambu yang menjulang ke atas. Dari ujung kedua bambu dihubungkan dengan tali, seperti untuk main akrobat. Di tengah arena didirikan gagar mayang rumbai kertas warna-warni sebagai pusat arena.

2. Rock Progressif, Experimentalisme dan Eklektisisme, Gamantyo Hendrantoro

-Prolog
-Ciri wanci
-Kronologi
-Situasi Dalam Negeri
-Di Balik Cakrawala
-Epilog

Rock progresif lahir di penghujung dekade 1960-an dan tumbuh pesat di dunia musik pop komersial terutama pada separuh pertama dekade 1970-an. Hal ini khususnya berlaku bagi rock simfonik yang adalah salah satu cabang atau subjenre dari rock progresif yang banyak dipengaruhi musik klasik, dikarakterisasi oleh komposisi berskala epik dengan tema pretensius dan cenderung bombastis. Sejumlah album beraliran rock simfonik sempat mengenyam nikmatnya berada di puncak tangga album komersial pada kurun 1970-1975. Namun bermula pada paruh akhir dasawarsa 1970-an, perlahan tapi pasti mereka seolah hilang sirna ditelan bumi. Bagaikan kepunahan misterius yang melanda kawanan dinosaurus yang pernah mendominasi ekosistem di permukaan bumi sampai periode Cretaceus.

Di kemudian hari pada dasawarsa 1990-an nama rock progresif agak sedikit terangkat lagi ke permukaan berkat kemunculan teknologi internet dan kelahiran subjenre termuda bernama metal progresif. Namun rasanya tak mungkin lagi mengulang kejayaan generasi perintisnya di era modern dalam industri musik komersial seperti sekarang ini. Terutama jika idealisme rock progresif tetap mau dipertahankan oleh para senimannya.

Yang jelas, karena keterpurukannya sejak paruh akhir dekade 1970-an, tak banyak lagi orang mengenal apa itu rock progresif. Para orang dewasa yang dulu penggemar rock progresif pun mungkin sudah lupa pernah menyukai rock progresif atau bahkan lupa bahwa pernah ada jenre musik bernama rock progresif. Ke arah situ pulalah buku ini ingin menapakkan langkahnya. Sekedar mengingatkan kembali bagi yang lupa. Namun jika boleh, ada beberapa kontribusi observasi yang mungkin bermanfaat pula bagi orang yang baru mulai kenal atau malah belum pernah dengar sama sekali tentang monster bernama rock progresif.

Karena keterbatasan ruang dalam buku ini, maka secara singkat akan coba dibahas ciri dan karakter rock progresif, diikuti biodata singkat dari musik rock progresif itu sendiri. Setelah itu akan disentuh pula apa yang terjadi di Indonesia dalam kaitannya dengan rock progresif. Di akhir tulisan, diberikan tinjauan terhadap musik-musik eksperimental beridiom rock yang masih senafas dengan rock progresif.

Biodata Penulis

Nama : Gamantyo Hendrantoro

Lahir: Jombang
Alamat : Perum ITS U-15 Sukolilo, Surabaya

Pendidikan :
– S-1 Teknik Elektro, ITS, Surabaya, 1987-1992
– S-2 dan S-3 Teknik Elektro, Carleton University, Canada 1995-2002

Pekerjaan :
Dosen ITS (Guru Besar Teknik Elektro bidang Sistem Komunikasi Nirkabel)

Kesibukan lain:
– Mengelola milis prog-rock@yahoogroups.com
– Menulis artikel musik untuk media cetak dan maya

Hobi : Menikmati musik, sastra, dan film

Jenis musik yang digemari:
Segala jenis musik eksperimental, termasuk dan tidak terbatas pada Rock Progresif, Klasik Kontemporer, Free Jazz, Avant-Garde

Seniman musik yang dikagumi:
Seniman yang menempatkan eksperimen di atas segala-galanya, antara lain Frank Zappa, Lars Hollmer, Robert Fripp, Charles Ives, John Cage, Krzystoff Penderecki, Gyorgy Ligeti, Iannis Xenakis, Miles Davis, John Coltrane, John Zorn, I Wayan Sadra, Tony Prabowo, Henry Cow, Area, Magma

Suwarmin lahir di Sragen Surakarta. Berdomisili di Jambe Rt 07 Rw II Banjarmantren, Buduran, Sidoarjo. Jabatan sekarang sebagai dosen Kopertis Wilayah VII Jatim DPK di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Mulai tertarik belajar kesenian mulai dari masuk Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) di Surakarta pada tahun 1967 yang pada waktu itu masih belum ada jurusan dan lulus tahun 1970. Setelah lulus Kokar masuk ASKI Surakarta belum sampai lulus tahun 1973 diangkat menjadi guru di Konservatori Karawitan Indonesia Surabaya yang pada saat itu terjadi perubahan status dari swasta menjadi negeri. Mulai saat itu pula mulai melakukan penyerapan berbagai seni di Jawa Timur (Suroboyo-an, Malang-an, Madura, dan Banyuwangi) untuk materi pembelajaran. Pada tahun 1980 bersama teman dan didukung beberapa tokoh Surabaya mendirikan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya. Di sini pula melanjutkan studi untuk Sarjana Muda dan Sarjana (S-1) di Jurusan Karawitan. Pada tahun 1992 melimpah ke Kopertis Wilayah VII Jatim dan diperbantukan di STKW Surabaya hingga sekarang. Pada tahun 1991-1992 menjadi dosen luar biasa IKIP negeri Surabaya. Tahun 1998-2003 ketua komite musik Dewan Kesenian Surabaya menyelenggarakan “Kalimas Musics Festival” bersklala nasional. Mengambil program S-2 di STSI Surakarta lulus tahun 2005.

Pengalaman berkesenian, tahun 1987, 1988 dan 1999 peserta pekan Kompinis di Jakarta, tahun 1994, 1995, 1996 mengikuti Festival Gamelan Internasional di Yogyakarta, tahun 1991 Festival Seni Asia-Pasifik di Hongkong, tahun 2000 berkolaborasi Black Swan Theatre tampil di Festival of Perth Australia Barat. Aktif dalam berbagai seminar, pagelaran seni dan keanggotaan organisasi profesi seni (AKI, MMI, MSPI).
Hasil penelitian serta buku yang telah terbit yaitu tahun 1980 anggota Team (bidang musik) Penelitian Budaya Daerah Jawa Timur dalam rangka penyusunan Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Jawa Timur. Tahun 1981 bersama A Tasman R. menyusun buku Notasi Rebaban Gending-Gending Suroboyo. Tahun 1983 (team) menyusun buku “Pengetahuan Karawitan Jawa Timur” diterbitkan Dirjen Dikmenjur Depdikbut Jakarta. Tahun 1985 penelitian Klasifikasi Gending-Gending Suroboyo, tahun 1988 penelitian kajian musikal “Sandur Tuban Musik Langka di Jawa Timur”. Pada tahun 1999 sebagai aggota National Research Team untuk wilayah Jawa Timur dalam rangka penelitian “Sonic Orders in ASIAN Traditional Musics”.

(Sumber data: buku 2 KUTUB, Suwarmin, Gamantyo Hendrantoro, Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here