Tingkilan Etam – Instrumentalia Irama Jepen

0

EAST KALIMANTAN

Type of Collection: Cassette
Artist/Group: Tingkilan Etam Samarinda Pimpinan A. Ajidin ND
Album Title: Instrumentalia Irama Jepen
Origin: Samarinda, East Kalimantan
Language: Instrumentalia
Year of Release: 1985
Label: Indah Persada Records, Samarinda
Serial Number: 001-0885
Contributor: Museum Musik Indonesia

Reference Link:

Tracklist

NOSong Title
SIDE A :
1Sengata
2Janur
3Sakura
4Yaman
5Melinau
6Tingkilan
SIDE B :
1Sidabil
2Lambai Kekasih
3Aduh Kekasih
4Ulak Ulak
5No Data
6Jauh Malam

Biography

Tingkilan is one type of musical art of the Kutai Tribe. This music was born along with the entry of Islam to Kutai and more or less has the same sound with the arts of other Malay families. Tingkilan then spreads through the process of acculturation with the local culture, making this music divided into three types (Hulu Mahakam, Middle and Beach) which have their own character. The word tingkilan means satire through rhymes and music. This meaning still exist, although the musical structure has undergone various forms of change.

Tingkilan Etam, is a Tingkilan music group in Samarinda City, East Kalimantan. Based on information from Mr. Basrani Abdi, a gambus player, via telephone, 20/8/2021, that Tinkilan Etama was active in the 1980s in Samarinda. Mr. AAjidin ND, the leader of Tingkilan Etam lives in Tenggarong, East Kalimantan. Day-to-day working as a farmer working on the garden. He died some time ago.

Basrani Abdi, a member of the Etam Tingkilan, is now forming a new Etam Tingkilan in Samarinda in 2020. “We want young people to also appreciate the Tingkilan, for that we include a keyboard,” he said. Ever released an album Tingkilan etam in CD format. Now it’s more active to fill youtube content on the Etam Tingkilan channel.

About the Album

Instrumental album Irama Jepen contains 12 compositions. Tingkilan is one of the musical arts of the Kutai people. Etam is taken from the Continent of Etam, the nickname for the Province of East Kalimantan. Unfortunately, the names of the creators of the composition are not written. Or are they all traditional songs inherited from ancestors whose names are unknown?

Indah Persada Record, led by Mr. Darsono, an employee of the Correctional Institution in Samarinda, produced this album in the form of a cassette tape in August 1985. Its address is Jl. Jendral Sudirman 15, Penitentiary Complex, Samarinda, East Kalimantan.

Jepen dance is a traditional dance in Kutai which is influenced by Malay and Islam. It is very popular among people who live on the coast of the Mahakam river and in coastal areas as a social dance. Usually danced in pairs but can be danced singlely. The jepen dance is accompanied by singing and music typical of Kutai called Tingkilan.

Story

Based on the book Tingkilan, Strains that Navigate the Ages, Dr. Aji Qamara Hakim, Nuansa Harmony Publisher, Samarinda, 2011, there are two different views about where the meaning of the word tingkilan comes from:

First, from the word Tingkil which means satire in the Kutai language. The addition of the suffix -an makes it mean satire. Tingkilan in this sense is a satire in the form of a rhyme, contains criticism and suggestions, and is delivered with a song accompanied by gambus and ketipung musical instruments.

Second, from the sound of the plucked gambus which produces the ‘ting’ sound. Ting is a tinkling sound that ends in -an. Tingkilan is the verb form of the work of picking gambus. The player himself is called peningkil.

Although different, the two views both convey how the level of perception is today. Both interpret Tingkilan as a form of conveying satire to others through rhymes or lyrics accompanied by songs.

In the past, stringed strings were made of silver, copper, and atmosphere (a mixture of copper, gold and silver to produce a very clear tinkling sound that even sounded ‘ting’). There are two ways to give the gambus magical power. First, by displaying spelled mood strings. Second, by installing a spelled mood string inside the body of the lute or behind the strings. Seeing the dangers of the magic of the enchanted strings and to reduce conflict, the Netherlands enacted a law prohibiting enchanted strings. The prohibition and dangerous content on the strings made the peningkil only use strings made of silver and copper. However, it then made it difficult for them to procure string material. They were forced to replace the strings with strings made of nylon.

Although the Kutai language is still closely related to the Malay language and has similarities with the Indonesian language, there are also many Tingkilan songs that try to build the lyrics completely with the local Kutai language repertoire. Not infrequently the performers of “modern” stage music create highly symbolic song lyrics.

The Peningkil are very careful in creating retelling songs in the Kutai language. No wonder the result deserves thumbs up because the lyrics are almost complete with the Kutai language when compared to the ‘traditional’ songs filled with Indonesian.

Highlights of this album:

Tingkilan is a type of musical art from the Kutai people in East Kalimantan. This music was born along with the entry of Islam into Kutai (marked by the stringed instrument).

The Tinkilan Etam Group, Samarinda, East Kalimantan has disbanded. Mr. A. Ajidin ND, the leader of the Tingkilan Etam group has passed away. Indah Persada Records, Samarinda, who released this album, have not released any recorded album products since that. This album is an important documentation related to the Tingkilan Etam group, the Group Leader and the record company in Samarinda, East Kalimantan.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 

Biography

Tingkilan merupakan salah satu jenis kesenian musik masyarakat Kutai. Musik ini lahir seiring dengan masuknya Islam ke Kutai dan sedikit banyak memiliki kesamaan bunyi dengan kesenian rumpun Melayu lainnya. Tingkilan lantas menyebar melalui proses akulturasi dengan kebudayaan setempat, membuat musik ini kini terbagi menjadi tiga jenis (Hulu Mahakam, Tengah dan Pantai) yang memiliki karakternya masing-masing. Kata tingkilan berarti menyindir lewat pantun dan musik. Makna ini masih terus bertahan, walaupun struktur musiknya telah mengalami berbagai bentuk perubahan.

Tingkilan Etam,adalah sebuah group Tingkilan yang ada di Kota Samarinda Kalimantan Timur. Berdasarkan informasi dari Bapak Basrani Abdi, pemain gambus,  via telepon, 20/8/2021, bahwa Tingkilan Etam aktif tahun 1980-an di Samarinda. Pak A Ajidin ND, pimpinan Tingkilan Etam tinggal di Tenggarong, Kalimantan Timur. Sehari-hari bekerja sebagai petani menggarap kebun. Beliau sudah wafat.

Basrani Abdi, salah satu anggota Tingkilan Etam, sekarang membentuk Tingkilan Etam baru di Samarinda tahun 2020. ”Kami ingin anak-anak muda juga mengapresiasi tingkilan, untuk itu kami memasukkan keyboard,” katanya.  Pernah merilis album tingkilan etam dalam format CD. Sekarang lebih aktif mengisi konten youtube di channel Tingkilan Etam.

About the Album

Album Instrumentalia Irama Jepen ini memuat 12 komposisi. Tingkilan merupakan salah satu jenis kesenian musik masyarakat Kutai. Etam diambil dari Benua Etam, julukan bagi Provinsi Kalimantan Timur. Sayang sekali tidak dituliskan nama-nama pencipta komposisi tersebut. Ataukah memang semua merupakan lagu-lagu tradisional warisan leluhur yang tidak diketahui nama-nama penciptanya.

Indah Persada Record dipimpin Pak Darsono, seorang pegawai Lembaga Pemasyarakatan di Samarinda memproduksi album berupa pita kaset ini pada bulan Agustus 1985. Beralamat di Jl. Jendral Sudirman 15, Komplek Lembaga Pemasyarakatan, Samarinda Kalimantan Timur.

Tari Jepen merupakan tari tradisi di Kutai yang mendapat pengaruh Melayu dan Islam. Sangat populer di kalangan masyarakat yang tinggal di pesisir sungai Mahakam maupun di daerah pantai sebagai tarian pergaulan. Biasanya ditarikan berpasang-pasangan tetapi dapat ditarikan secara tunggal. Tarian jepen diiringi nyanyian dan irama musik khas Kutai yang disebut tingkilan.

Story

Berdasarkan buku Tingkilan, Alunan yang Mengarungi Abad, Dr. AjiQamara Hakim, Penerbit Nuansa Harmoni, Samarinda, 2011, terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai dariman aarti kata tingkila nberasal:

Pertama, dari kata tingkil yang berarti sindir dalam bahasa Kutai. Penambahan akhiran-an menjadikannya bermakna sindiran. Tingkilan dalam arti ini merupakan sindiran berbentuk pantun, berisi kritik dan saran, serta disampaikan dengan nyanyian yang diiringi alat musik gambus dan ketipung.

Kedua, dari bunyi gambus yang dipetik yang menghasilka nbunyi ‘ting’. Ting itu adalah suara dentingan gambus yang diberiakhiran-an. Tingkilan adalah bentuk kata kerja dari kerja memetik gambus. Si pemain itu sendiri disebut peningkil.

Meski berbeda, kedua pandangan tersebut sama-sama menyampaikan bagaimana tingkilan dipersepsi hari ini. Keduanya mengartikan tingkilan sebagai satu bentuk penyampaian sindiran kepada orang lain lewat pantuna tau lirik yang diiringi lagu.

Dahulu senar gambus terbuat dari perak, tembaga, dan suasa (campuran tembaga, emas dan perak sehingga menghasilkan bunyi dentingan yang amat bening sampai-sampai berbunyi ‘ting’). Namun, bunyisenar yang jernih tersebut dianggap mengandung kesaktian dan berbahaya ketika diberi mantra untuk tujuan tertentu. Ada dua cara untuk memberikan kekuatan magis pada gambus. Pertama, dengan memajang senar-senarsuasa bermantra. Kedua, dengan memasang satu senarsuasa bermantra ke bagian dalam badan gambus atau di balik senar-senar gambus. Melihat bahaya atas kesaktian senarsuasa tersebut dan untuk meredam konflik, maka Belanda memberlakukan undang-undang pelarangan senarsuasa yang dimantrai. Pelarangan dan kandunga nbahaya pada senar suasa membuat para peningkil hanya menggunakan senar-senar yang terbuat dari perak dan tembaga. Namun, hal itu kemudian menyulitkan mereka dalam pengadaan bahan senar. Mereka pun terpaksa mengganti senar-senar gambus dengan senar yang terbuat dari nilon. 

Kendati bahasa Kutai masih serumpun dengan bahasa melayu dan memiliki kesamaan dengan bahasa Indonesia, banyak ditemukan pula lagu-lagu tingkilan yang berusaha membangun liriknya seutuhnya dengan perbendaharaan bahasa lokal Kutai. Tak jarang para pelaku musik tingkilan “modern” menciptakan lirik lagu yang amat simbolik.

Para peningkil sangat berhati-hati dalam menciptakan lagu-lagu tingkilan berbahasa Kutai. Tak heran hasilnya patut diacungi jempol karena liriknya nyaris utuh dengan bahasa Kutai bila dibandingkan dengan lagu-lagu tingkilan ‘tradisional’ yang dipenuhi bahasa Indonesia.

Nilai penting album ini

Tingkilan merupakan salah satu jenis kesenian musik masyarakat Kutai di Kalimantan Timur. Musik ini lahir seiring dengan masuknya Islam ke Kutai  (ditandai dengan instrumen gambus).

Group Tingkilan Etam,Samarinda Kalimantan Timur sudah bubar. Bapak A.Ajidin ND, pimpinan group Tingkilan Etam sudah wafat. Indah Persada Records, Samarinda yang merilis album ini sudah tidak mengeluarkan produk album rekaman. Album ini menjadi dokumentasi penting terkait group Tingkilan Etam, Pimpinan Group dan perusahaan rekaman di Samarinda Kalimantan Timur.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here