Dok. Foto: Abdul Malik
Sabtu, 9 Oktober 2021 mulai pukul 10.00 WIB.
Tempat di Museum Musik Indonesia
Jl.Nusakambangan 19 Kota Malang 65117.
Narasumber: Rakai Hino Galeswangi, sejarawan. Pentas musik keroncong Museum Reenactor Ngalam. Kerjasama Museum Musik Indonesia dan Balai Pelestarian Nilai Budaya DI Jogjakarta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui program Fasilitasi Pelestarian Budaya Tahun 2021
Salah satu dari seratus album musik dalam kegiatan Dokumentasi Rekaman Musik Keroncong Klasik dan Modern koleksi Museum Musik Indonesia adalah album berjudul Keroncong Tempo Doeloe Galian Bung Karno yang dimainkan oleh Orkes Karya Nada. Salah satu penyanyi dalam album ini disebut oleh Bung Karno, yaitu Netty van Bostraten. Penyanyi kelahiran Klaten tahun 1921. Netty yang berdarah Suriname-Jawa diundang oleh Bung Karno di Istana Bogor tahun 1964 dalam rangka menyambut acara Bintang Radio. Kepada Netty, Bung Karno mengaku menyukai suara Netty.Piringan hitam Netty tetap dibawa Bung Karno saat dibuang di Digul dan Bengkulu. Selang dua tahun kemudian, Bung Karno mengirim surat kepada Netty dengan kop Presiden Republik Indonesia:
“Saja ijinkan sdr.Netty membuat gramaphone-records daripada lagu-lagu kerontjong asli ,,galian” saja.”-Bogor 28 Djuli 1966-Soekarno.
Tahun 1968 dua buah long play-nya dirilis RCA Indonesia dengan judul “Keroncong Tempo Doeloe Galian Bung Karno”yang berisi 24 lagu.Kemudian pada tahun 1984,long play tersebut dipindahkan ke pita kaset oleh perusahaan rekaman PT Varia Nada Utama dengan judul yang sama.Tentu bukan sebuah kebetulan jika Bung Karno memiliki perhatian pada musik keroncong terlebih ‘menggali’ musik keroncong.
Dalam pidato kenegaraan Bung Karno tanggal 17 Agustus 1959 melalui Manipol Usdek dibakarnya pemuda Indonesia.Katanya, pemuda Indonesia haruslah anti imperialisme-kolonialisme.Jika pemuda Indonesia mengaku anti imperialisme-kolonialisme, maka itu berarti mereka harus anti pula terhadap semua bentuk imperialisme, dalam hal ini kebudayaan.Kebudayaan barat harus diganyang, dihancurkan, dan sebagai tindakan lanjut adalah membangun kebudayaan nasional dengan menggali nilai-nilai yang pas menurut kepribadian bangsa.Dalam pidato tersebut, Bung Karno secara langsung menghantam irama rock dan cha cha cha, mode musik yang sedang populer waktu itu, yang notabene disebutnya sebagai ‘ngak ngik ngok’ tersebut.Boleh jadi inilah latar belakang Bung Karno ‘menggali’ musik keroncong.
Musik Keroncong dari Indonesia.
Japi Tambayong dalam Ensiklopedi Musik Jilid 1 (PT Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1992) mengatakan bahwa keroncong bukan berasal dari Portugis, tetapi dari bekas-bekas budak Portugis yang dibebaskan Belanda, lantas berpihak pada Belanda untuk semua kepentingan, baik politik, spiritual, maupun budaya. Di kemudian hari, memang banyak terjadi persentuhan budaya Belanda dalam kehidupan mereka, terutama dalam komunitas di Tugu, lahan yang diberikan Belanda pada mereka. Kampung Tugu terletak di kawasan pantai utara Jakarta, di sebelah timur wilayah Tanjung Priok. Sejak tahun 1883 ditetapkan sebagai bandar pelabuhan kota Jakarta menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa atau Jayakarta.Menurut Komunitas Tugu, musik Krontjong Toegoe dilahirkan di Kampung Tugu pada tahun 1661.Itu karena mereka berhasil membuat instrumennya sendiri yang dinamakan keroncong berdawai lima dalam tiga jenis ukuran, yaitu ukuran besar dinamakan jitera, ukuran sedang dinamakan prounga, dan ukuran kecil dinamakan macina.(Victor Ganap, Krontjong Toegoe, Badan Penerbit Institut Seni Indonesia Jogja, 2011)
Pelopor Keroncong Modern: Abdullah (Cirebon) dan Kusbini (Mojokerto 1910-Jogjakarta 1991).Dalam dunia keroncong tempo doeloe, nama Kusbini dan Abdullah kerap disebut-sebut sebagai pelopor penggagas musik keroncong bergaya modern.Keduanya adalah musisi keroncong yang sudah tidak asing lagi sejak pertengahan tahun 1920-an.Mereka terhitung seniman musik terkemuka yang serba bisa dan sama-sama bercita-cita untuk mendobrak tradisi dan meningkatkan citra musik keroncong. Kalau Kusbini banyak berkecimpung dalam bidang musik dan pencipta lagu, maka Abdullah lebih tenar sebagai penyanyi.
Perbedaan paling prinsip antara lagu keroncong asli dan modern adalah penggunaan refrain. Dalam keroncong asli tidak mengenal refrain.Refrain merupakan bagian dari lirik sebuah lagu. Refrain diletakkan diantara bait pertama atau kedua dan bait terakhir. Abdullah mencipta lagu berjudul “Dari mana datangnya Kerontjong” pada 1935.Sementara Kusbini menulis lagu “Kewajiban Manusia”, merupakan lagu keroncong pertama yang berlirik lebih tertib, teratur dan sama sekali tidak terdapat pengulangan kalimat atau kata dan bebas dari kata rayuan yang membosankan.Lagu Kewajiban Manusia pertama kali diperdengarkan lewat NIROM Surabaya pada tahun 1936. Menurut Kusbini, sambutan terhadap lagu ciptaannya sungguh luar diluar dugaan. Bukan saja telah menarik perhatian para penggemar keroncong, tetapi juga banyak ditiru oleh para pencipta lagu sezamannya.(Haryadi Suadi, Djiwa Manis Indoeng Disajang, Musik dan Dunia Hiburan Tempo Dulu Jilid 1, penerbit Kiblat Buku Utama, Bandung & Dunia Pustaka Jaya, Bandung, 2017).Dalam menekuni musik keroncong, Kusbini sangatlah serius sampai-sampai Kusbini mendapat julukan “Buaya Keroncong” dari Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama (Tugas Tri Wahyono, Dwi Ratna Nurhajarini, KUSBINI: Seniman Musik Keroncong Tiga Zaman,Balai Pelestarian Nilai Budaya DI Yogyakarta, 2018).
Dalam perjalanan keroncong memasuki dasawarsa 1950-an, semakin kuat citra Solo menguasai keroncong. Beberapa lagu karangan orang Solo, misalnya Gesang,menyeret orang kepada suatu keroncong yang khas dengan suasana yang baru, yaitu dominannya bunyi celo yang dipetik menyerupai kendang.Banyak lagu karangan Gesang (Surakarta 1917- 2010) yang kebetulan mempopulerkan juga kota itu, misalnya Tirtonadi dan Bengawan Solo. Kemudian muncul pula Maladi (mantan Menteri Zaman Orla, nama samarannya Arimah) dengan Solo di waktu malam hari.Lalu pada dasawarsa 1960-an semakin jelas warna keroncong Solo menyeruak menjadi perhatian nasional, yaitu masuknya unsur langgam Jawa secara lebh tajam dalam penyajiannya. Ini dilakukan mula-mula Andjar Any (Ponorogo 1936-Surakarta 2008) melaui Yen in tawang, diikuti oleh S.Dharmanto (Semarang)melalui Lara branta, dan Ismanto (Surakarta 1920-1996) melalui Wuyung.Bersamaan dengan itu seorang jenderal di Jakarta mendukung biaya sebuah orkes besar untuk terciptanya suara keroncong yang paripurna, dengan beberapa tokoh musikus akademis.Orkes itu bernama Tetap Segar, dipimpin langsung oleh Jenderal Pierngadi.Manajemen orkes ini terbilang paling baik yang pernah ada sejak Indonesia Merdeka.
Memasuki dasawarsa 1980-an, sebuah orkes keroncong lengkap mulai sering tampil di TVRI, dipimpin oleh violis terkenal sejak usia 12 tahun, yaitu Achmad.Dengan orkesnya itu Achmad memberikan arti yang lebih luas pula tentang keroncong, yakni salah satu corak musik Indonesia yang harus diterima dengan senang hati.
Dalam proses dokumentasi, kami menemukan masih banyak lagu keroncong yang nama penciptanya ditulis NN atau N.N. Singkatan no noting atau not to be noted.Kita menyebutnya no name. Tanda bahwa pencipta lagu tidak dikenal.
Keanekaragaman Keroncong Indonesia dapat ditelusuri dari seratus koleksi rekaman musik keroncong koleksi Museum Musik Indonesia.Musik keroncong tersebar dari Aceh, Nusa Tenggara Timur, Makassar, Solo, Bandung, Surabaya, Jakarta hingga Maluku.
Seratus album rekaman musik keroncong koleksi Museum Musik Indonesia kami klasifikasikan dalam dua bagian: Klasik (1880-1960) dan Modern (1960-2021).
Katalog Keanekaragaman Keroncong Indonesia, Dokumentasi Rekaman Musik Keroncong Klasik dan Modern di Museum Musik Indonesia, adalah sebuah ikhtiar sederhana dari Museum Musik Indonesia untuk turut mendukung Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik dan Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu.
Terima kasih.
Malang, 11 September 2021
Pimpinan Program,
Anang Maret Tri Basuki.
WA: 0852 5758 8070
Dok. Foto: Ratna Sakti Wulandari
==============================
Mengumpulkan seratus album keroncong dalam satu rumah sebenarnya sebuah pekerjaan sederhana. Hanya memerlukan rasa cinta dan peduli. Buku Katalog ini bisa terwujud berkat kepedulian banyak pihak khususnya masyarakat yang telah menyumbangkan koleksi rekaman untuk disimpan di Museum Musik Indonesia (MMI).
Ibaratnya ini merupakan upaya masyarakat untuk mengumpulkan naskah-naskah daun lontar yang berserakan dalam sebuah perpustakaan. Tujuannya agar sejarah bangsa di masa lampau dapat didokumentasikan dan diarsipkan. Jangan sampai bukti-bukti otentik aset budaya bangsa hilang ditelan zaman.
Musik keroncong lahir di Indonesia, juga musik dangdut. Adanya pengaruh musik lain wajar saja. Keroncong dipengaruhi musik Portugis sebagaimana Dangdut dipengaruhi musik India. Interaksi budaya antar bangsa tak dapat dibendung.
Di Indonesia sendiri keroncong juga berkembang penuh keanekaragaman. Selain dikenal istilah Keroncong Asli, muncul juga istilah Keroncong Modern dan Keroncong Kontemporer. Selain itu berkembang pula jenis musik yang masih satu keluarga dengan keroncong, yaitu stambul, langgam dan keroncong hawaiian. Yang terakhir ini salah satu tokohnya adalah George De Fretes, musisi berdarah Maluku kelahiran Bandung. George yang juga sering disebut Tjok De Fretes ini adalah salah satu musisi yang turut mempopulerkan musik keroncong di Belanda dan luar negeri.
Satu catatan penting yang kami temukan dalam menyusun katalog ini adalah minimnya atribut informasi yang terdapat dalam cover album rekaman. Sebagian besar tidak menyebutkan tahun berapa diproduksi. Sebagian lagi tidak mencantumkan nama-nama pencipta lagu. Profil sang artis juga sangat minim. Tentu saja, dari aspek sejarah, hal ini sangat disayangkan. Beruntung masih ada sumber-sumber lain yang dapat digunakan untuk melengkapi data.
Seratus album dalam katalog ini masih jauh dari sempurna. Barangkali masih terdapat keanekaragaman musik keroncong lainnya yang belum terwakili karena belum lengkapnya koleksi di Museum Musik Indonesia. Rasa cinta dan rasa peduli dari masyarakat tentu kami harapkan bila suatu saat kami menerbitkan katalog lagi.
Kiranya buku katalog ini dapat melengkapi pendataan musik di Indonesia dan menjadi bagian dari Sistem Pendataan kebudayaan Terpadu yang sedang dikembangkan oleh Dirjen Kebudayaan.
Museum Musik Indonesia
Hengki Herwanto, Ketua
WA: 0811 3402 929
Dok. foto: Abdul Malik
==============================
==============================
Kompasiana: Launching Buku Keanekaragaman Keroncong Indonesia di Museum Musik Indonesia
Sabtu, 9 Oktober 2021 di Museum Musik Indonesia jadi moment menarik karena siang itu dilaunching buku Keanekaragaman keroncong Indonesia. Acara sederhana ini dikemas sangat memikat dan memperoleh pencerahan tentang sejarah keroncong dari Sejarawan Rakai Hino, yang membabar sejarah musik keroncong secara menarik.
Penulisan buku tersebut merupakan upaya melestarikan keroncong sebagai warisan budaya yang berkembang di Indonesia. Buku ini sangat menarik, mencoba mengangkat dokumentasi rekaman musik keroncong klasik dan modern yang kebetulan tersimpan dan terdokumentasi di Museum Musik Indonesia yang berada di kota Malang.
Untuk menambah keasyikan acara, korps musik Reenactor turut serta memainkan genre musik keroncong
Beberapa lagu klasik seperti keroncong jembatan merah ditampilkan dengan sangat memukau dengan menampilkan nuansa perjuangan khas Reenactor. Bahkan lagu sepasang mata bola ciptaan Ismail Marzuki bisa menghipnotis seluruh hadirin untuk turut mendendangkan alunan syair lagunya.
Selamat dan sukses untuk Museum Musik Indonesia.
Malang, 9 Oktober 2021
Oleh Eko Irawan
==============================
Seru.co.id: MMI Launching Buku ‘Keanekaragaman Keroncong Indonesia’
Malang, SERU.co.id – Buku ‘Keanekaragaman Keroncong Indonesia’ dilaunching di Museum Musik Indonesia (MMI), Jalan Nusakambangan 19 Kota Malang. Buku tersebut merupakan hasil karya para pegiat MMI.
Pendiri Museum Musik Indonesia, Hengki Herwanto menuturkan, mengumpulkan seratus album keroncong dalam satu rumah, sebenarnya sebuah pekerjaan sederhana. Namun, hanya memerlukan rasa cinta dan peduli.
“Buku Katalog ini bisa terwujud berkat kepedulian banyak pihak, khususnya masyarakat yang telah menyumbangkan koleksi rekaman untuk disimpan di Museum Musik Indonesia (MMI),” seru Hengki Herwanto, Sabtu (9/10/2021).
Buku tersebut atas kerjasama Museum Musik Indonesia dan Balai Pelestarian Nilai Budaya DI Jogjakarta, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, melalui program Fasilitasi Pelestarian Budaya Tahun 2021.
Menurutnya, pengumpulan naskah-naskah tersebut ibaratnya daun lontar yang berserakan dalam sebuah perpustakaan. Tujuannya agar sejarah bangsa di masa lampau dapat didokumentasikan dan diarsipkan. Jangan sampai bukti-bukti otentik aset budaya bangsa hilang ditelan zaman.
Musik keroncong lahir di Indonesia, seperti halnya musik dangdut. Adanya pengaruh musik lain wajar saja. Keroncong dipengaruhi musik Portugis, sebagaimana Dangdut dipengaruhi musik India. Interaksi budaya antar bangsa tak dapat dibendung.
“Di Indonesia sendiri keroncong juga berkembang penuh keanekaragaman. Selain dikenal istilah ‘Keroncong Asli’, muncul juga istilah ‘Keroncong Modern’ dan ‘Keroncong Kontemporer,” bebernya.
Pihaknya menambahkan, berkembang pula jenis musik yang masih satu keluarga dengan keroncong, yaitu stambul, langgam dan keroncong hawaiian. Yang terakhir ini, salah satu tokohnya adalah George De Fretes, musisi berdarah Maluku kelahiran Bandung.
“George yang juga sering disebut Tjok De Fretes ini adalah salah satu musisi yang turut mempopulerkan musik keroncong di Belanda dan luar negeri,” ungkapnya.
Satu catatan penting ia temukan dalam menyusun katalog, adalah minimnya atribut informasi yang terdapat dalam cover album rekaman. Sebagian besar tidak menyebutkan tahun berapa diproduksi. Sebagian lagi tidak mencantumkan nama-nama pencipta lagu.
“Profil sang artis juga sangat minim. Tentu saja, dari aspek sejarah, hal ini sangat disayangkan. Beruntung masih ada sumber-sumber lain yang dapat digunakan untuk melengkapi data,” bebernya.
Hengki Herwanto mengungkapkan, seratus album dalam katalog ini masih jauh dari sempurna. Barangkali masih terdapat keanekaragaman musik keroncong lainnya yang belum terwakili. Sehingga koleksi di Museum Musik Indonesia belum sepenuhnya lengkap.
“Rasa cinta dan rasa peduli dari masyarakat tentu kami harapkan, bila suatu saat kami menerbitkan katalog lagi,” imbuhnya.
Pihaknya berharap, buku katalog yang dilaunching dapat melengkapi pendataan musik di Indonesia dan menjadi bagian dari Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu yang sedang dikembangkan oleh Dirjen Kebudayaan. (jaz/rhd)
Sumber: MMI Launching Buku ‘Keanekaragaman Keroncong Indonesia’ (seru.co.id)
==============================
Surya Malang: Cara Membaca Buku Keanekaragaman Keroncong Indonesia Gratis
Reporter : Kukuh Kurniawan
SURYAMALANG.COM, MALANG – Museum Musik Indonesia (MMI) luncurkan buku Keanekaragaman Keroncong Indonesia, Sabtu (9/10/2021).
Pendiri MMI, Hengki Herwanto mengatakan penerbitan buku ini atas kerja sama MMI, Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) melalui program Fasilitasi Pelestarian Nilai Budaya Tahun 2021.
“Penerbitan buku untuk melestarikan musik keroncong. Sekarang musik keroncong tidak sepopuler musik-musik lain.”
“Semakin lama musik keroncong semakin jarang peminat. Kami dokumentasikan ini untuk menyelamatkan sekaligus melestarikan budaya musik keroncong,” ujar Hengki kepada SURYAMALANG.COM.
MMI butuh waktu tiga bulan untuk menyusun buku tersebut.
MMI memanfaatkan referensi isi buku sesuai berbagai album keroncong di MMI.
“Kami ambil 100 album musik keroncong yang menjadi koleksi MMI, lalu kami kurasi sederhana, kemudian kami kumpulkan menjadi buku ini.”
“Jadi, kami diskripsikan setiap album di buku Keanekaragaman Keroncong Indonesia, mulai dari tahun rilis, track listnya, dan ada sedikit ulasan nilai penting di album,” bebernya.
Hengki tidak menghadapi kesulitan atau kendala dalam penyusunan buku berisi 120 halaman tersebut.
“Tapi, banyak tidak ada data tahun rilis album dan pencipta lagunya sehingga kami mencari referensi dari sumber lain,” jelasnya.
Buku Keanekaragaman Keroncong Indonesia dicetak secara terbatas.
Masyarakat yang ingin memiliki dan membaca buku tersebut bisa mengakses di website MMI.
Penggiat budaya dari Kemendikbud Ristek, Ampry Bayu Saputra berharap buku tersebut bisa menjadi pintu masuk generasi muda untuk lebih tahu berbagai sejarah musik keroncong.
“Saya ucapkan terima kasih kepada MMI yang telah menyusun buku ini. Saya bersyukur dan bangga MMI bisa memfragmentasi buku tersebut sehingga bisa diakses pelajar dan masyarakat.”
“Saya berharap buku ini bisa menjadi pemajuan kebudayaan Indonesia khususnya di dunia musik,” tandasnya.
Sumber: Cara Membaca Buku Keanekaragaman Keroncong Indonesia Gratis – Suryamalang.com (tribunnews.com)
==============================
Jatim Tribunnews: Lestarikan Musik Keroncong, MMI Luncurkan Buku ‘Keanekaragaman Keroncong Indonesia’
TRIBUNJATIM.COM, MALANG – Sebagai bentuk melestarikan musik keroncong, Museum Musik Indonesia (MMI) luncurkan buku “Keanekaragaman Keroncong Indonesia,” Sabtu (9/10/2021).
Pendiri MMI, Hengki Herwanto mengatakan, buku itu diterbitkan berkat kerja sama antara Museum Musik Indonesia dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya DI Yogyakarta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui program Fasilitasi Pelestarian Nilai Budaya Tahun 2021.
“Tujuan dari buku ini diterbitkan adalah, untuk melestarikan musik keroncong. Karena seperti yang kita tahu, musik keroncong tidak sepopuler musik-musik lainnya. Selain itu, musik keroncong semakin lama semakin jarang peminatnya. Sehingga, harus kita dokumentasikan untuk menyelamatkan sekaligus melestarikan budaya musik keroncong,” ujarnya kepada TribunJatim.com.
Dalam penyusunan buku tersebut, pihak MMI membutuhkan waktu selama tiga bulan. Dengan referensi isi buku, berdasarkan dari berbagai album keroncong yang ada di MMI.
“100 album musik keroncong yang menjadi koleksi MMI kita ambil, lalu kita lakukan kurasi sederhana. Kita kumpulkan untuk dijadikan buku ini. Jadi di buku ‘Keanekaragaman Keroncong Indonesia,’ masing-masing album kita deskripsikan. Mulai dari dirilis tahun berapa, track list-nya apa, dan juga ada sedikit ulasan nilai penting di album,” bebernya.
Hengki mengungkapkan, tidak ada kesulitan ataupun kendala dalam penyusunan buku berisi 120 halaman tersebut.
“Untuk kesulitan tidak ada, mungkin hanya butuh waktu saja. Yang kami sayangkan adalah, banyak data tahun rilis album dan pencipta lagunya tidak ada. Sehingga, kami mencari referensi dari sumber lain,” jelasnya.
Dirinya menjelaskan, buku “Keanekaragaman Keroncong Indonesia” dicetak secara terbatas. Namun, bagi masyarakat yang ingin memiliki dan membacanya, bisa mengakses buku tersebut di website Museum Musik Indonesia.
“Isi buku ini bisa diakses masyarakat lewat website MMI, sehingga masyarakat bisa membacanya,” tambahnya.
Sementara itu, penggiat budaya dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Ampry Bayu Saputra berharap, buku Keanekaragaman Keroncong Indonesia bisa menjadi pintu masuk para generasi muda untuk lebih tahu berbagai sejarah musik keroncong.
“Tentu saya ucapkan terima kasih banyak kepada MMI, karena telah menyusun buku ini. Saya bersyukur dan bangga, teman-teman MMI bisa memfragmentasi buku tersebut sehingga bisa diakses pelajar dan masyarakat. Dan saya berharap, buku ini bisa menjadi pemajuan kebudayaan Indonesia, khususnya di dunia musik,” tandasnya.
Penulis: Kukuh Kurniawan | Editor: Dwi Prastika
==============================
TeraKota: MMI Luncurkan Buku Keanekaragaman Keroncong Indonesia
Terakota.id—Museum Musik Indonesia (MMI) melucnurkan buku berjudul “Keanekaragaman Keroncong Indonesia” pada Sabtu, 9 Oktober 2021. Buku berisi 100 album keroncong dipilih dari koleksi berbagai jenis rekaman di MMI. “Dicetak terbatas, akan didistribusikan ke sejumlah museum dan perpustakaan. Versi digital bisa diunduh gratis di website,” kata Ketua MMI, Hengki Herwanto saat peluncuran.
Buku Katalog ini, katanya, mendapat dukungan pendanaan dari Balai Pelestarian Nilai Budaya DI Jogjakarta, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui program Fasilitasi Pelestarian Budaya Tahun 2021. Sekaligus merupakan kepedulian banyak pihak khususnya masyarakat yang menyumbangkan koleksi rekaman untuk disimpan di MMI. Mengumpulkan seratus album keroncong, kata Hengki, bukan pekerjaan sederhana. Namun memerlukan rasa cinta dan peduli.
“Agar musik keroncong sebagai warisan budaya tak benda ini dapat didokumentasikan dan diarsipkan. Jangan sampai bukti-bukti otentik aset budaya hilang ditelan zaman,” katanya. Musik keroncong lahir di Indonesia, mendapat pengaruh alat musik dari Portugis. Sebagaimana musik dangdut yang dipengaruhi musik India. Sebuah interaksi budaya antar bangsa yang tak dapat dibendung.
Sedangkan, keroncong berkembang di nusantara dengan keanekaragaman, memiliki ciri setiap daerah. Selain keroncong asli, muncul istilah keroncong modern dan keroncong Kontemporer. Selain itu berkembang pula musik yang masih satu keluarga dengan keroncong, yakni stambul, langgam dan keroncong hawaiian.
Salah seorang tokoh keroncong hawaiian George De Fretes, musisi berdarah Maluku kelahiran Bandung. George juga dikenal dengan sebutan Tjok De Fretes ini merupakan salah seorang musisi yang turut mempopulerkan musik keroncong di Belanda dan luar negeri.
Hengki menyebutkan kelemahan album rekaman zaman dulu yang minim atribut informasi di dalam cover album rekaman. Seperti tidak menyebutkan tahun diproduksi, nama pencipta lagu. Termasuk profil penyanyi. “Dari aspek sejarah, dan pendokumentasian sangat disayangkan. Beruntung ada sumber lain yang dapat digunakan untuk melengkapi data,” katanya.
Ia berharap buku katalog ini dapat melengkapi pendataan musik di Indonesia. Sekaligus menjadi bagian dari Sistem Pendataan kebudayaan Terpadu yang sedang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud.
Sejarawan yang juga tim ahli cagar budaya Kota Malang Rakai Hino Galeswangi menyebut jika pemusik sekaligus peneliti Andjar Any menyebut musik keroncong asli Indonesia. Namun ada pula peneliti Paramita Rahayu Abdurrachman menyebut keroncong warisan Portugis. Alasannya alat musik yang digunakan peninggalan Portugis abad akhir 15. “Ada perdebatan apakah keroncong musik asli Indonesia atau impor,” katanya.
Namun, Rakai cenderung mendukung pendapat Andjar yang juga meneliti sampai ke Portugal. Di sana, ia tak menemukan alunan musik seperti keroncong. Setiap zaman, terjadi pasang surut musik keroncong. Saat Orde Lama musik keroncong banyak yang menikmati lantaran Presiden Sukarno menyukainya.
Namun usai tragedi 1965, musik keroncong surut karena diidentikkan dengan Lekra yang merupakan organisasi sayap Partai Komunis Indonesia. Apalagi, lagu genjer-genjer yang dinyanyikan Bing Slamet saat itu berirama keroncong. Namun, saat Orde Baru keroncong kembali bangkit dengan lagu bertema perjuangan. Seperti lagu sepasang mata bola, karya Ismail Marzuki.
“Sekarang juga semakin surut, tak banyak yang menikmati keroncong,” katanya.
Sumber: MMI Luncurkan Buku Keanekaragaman Keroncong Indonesia – Terakota
==============================
Jatim iNews: Keroncong, Musik Favorit Bung Karno yang Sempat Dilabeli PKI
“Ada kasus seorang kakek di Jakarta namanya Supaksi dihentikan, karena diindikasikan dia memainkan lagu-lagu yang mengarah katanya dianggap warnanya orang merah komunis, pasca 65 dihentikan dianggap sebagai lekra, padahal dia bukan lekra. Dia ngamennya memang genre-nya keroncong, tapi dianggap sebagai lekra,” terangnya. Keberpihakan Bung Karno kepada blok kiri di ujung pemerintahannya sebagai presiden, juga membuat stereotipe musik keroncong identik dengan komunis juga kian kuat. Hal ini diperparah peristiwa yang ternyata membuat membawa musik keroncong, jadi labelnya PKI kala itu. “Ambisinya Bung Karno itu (mempromosikan musik keroncong) yang nggak bisa dihilangkan, tapi dari situ dia akhirnya tersandung, mungkin kayak gitu. Makanya pasca peristiwa 65 orang – orang (yang main musik) keroncong itu dianggap pro-Soekarno dan berkomunis, makanya orang keroncong dianggap juga orang komunis, orang lekra,” jelasnya. Sementara itu pendiri Museum Musik Indonesia (MMI) Hengki Herwanto mengakui, Bung Karno merupakan pecinta musik keroncong. Bahkan ada salah satu album yang berisikan lagu – lagu pilihan Presiden Republik indonesia pertama, Ir Soekarno. “Jadi ada salah satu album dalam koleksi kita menunjukkan bahwa Bung Karno merupakan pecinta musik nasional, termasuk keroncong. Jadi dalam album itu, isi lagu – lagunya itu merupakan pilihan Bung Karno,” kata Hengki.
Album itu berhasil didokumentasikan dan diarsipkan dalam bentuk digital. Tujuannya semata-mata demi dapat mengabadikan bukti – bukti otentik sejarah bangsa agar tak hiang ditelan zaman, serta tetap bisa diakses masyarakat luas. “Keroncong sebagai musik yang lahir di negara kita perlu diperkenalkan, disosialisasikan, dan diedukasikan ke generasi muda, untuk memahami warisan budaya bangsa kita,” ujarnya.
“Ada kasus seorang kakek di Jakarta namanya Supaksi dihentikan, karena diindikasikan dia memainkan lagu-lagu yang mengarah katanya dianggap warnanya orang merah komunis, pasca 65 dihentikan dianggap sebagai lekra, padahal dia bukan lekra. Dia ngamennya memang genre-nya keroncong, tapi dianggap sebagai lekra,” terangnya. Keberpihakan Bung Karno kepada blok kiri di ujung pemerintahannya sebagai presiden, juga membuat stereotipe musik keroncong identik dengan komunis juga kian kuat. Hal ini diperparah peristiwa yang ternyata membuat membawa musik keroncong, jadi labelnya PKI kala itu. “Ambisinya Bung Karno itu (mempromosikan musik keroncong) yang nggak bisa dihilangkan, tapi dari situ dia akhirnya tersandung, mungkin kayak gitu. Makanya pasca peristiwa 65 orang – orang (yang main musik) keroncong itu dianggap pro-Soekarno dan berkomunis, makanya orang keroncong dianggap juga orang komunis, orang lekra,” jelasnya. Sementara itu pendiri Museum Musik Indonesia (MMI) Hengki Herwanto mengakui, Bung Karno merupakan pecinta musik keroncong. Bahkan ada salah satu album yang berisikan lagu – lagu pilihan Presiden Republik indonesia pertama, Ir Soekarno. “Jadi ada salah satu album dalam koleksi kita menunjukkan bahwa Bung Karno merupakan pecinta musik nasional, termasuk keroncong. Jadi dalam album itu, isi lagu – lagunya itu merupakan pilihan Bung Karno,” kata Hengki.
Album itu berhasil didokumentasikan dan diarsipkan dalam bentuk digital. Tujuannya semata-mata demi dapat mengabadikan bukti – bukti otentik sejarah bangsa agar tak hiang ditelan zaman, serta tetap bisa diakses masyarakat luas. “Keroncong sebagai musik yang lahir di negara kita perlu diperkenalkan, disosialisasikan, dan diedukasikan ke generasi muda, untuk memahami warisan budaya bangsa kita,” ujarnya.
Editor : Ahmad Antoni
Sumber: Keroncong, Musik Favorit Bung Karno yang Sempat Dilabeli PKI – Bagian 2 (inews.id)
==============================
Siapgrak: Keroncong, Musik dari Portugis atau Asli Indonesia?
SIAPGRAK.COM,Oleh: Wilda Fizriyani/Jurnalis Republika
"Bengawan Solo
Riwayatmu kini
Sedari dahulu jadi
Perhatian insani…"
Ini adalah secuil lirik dari lagu “Bengawan Solo” yang diciptakan oleh Gesang. Lagu fenomenal ini biasanya disajikan dalam musik bergenre keroncong. Sebuah genre yang disebut-sebut berasal dari Portugis, tapi ada pula yang menilai musik ini asli Indonesia. Lalu manakah informasi yang tepat?
Sejarawan Rakai Hino Galeswangi menyatakan, deskripsi tentang asal muasal musik keroncong sampai sekarang memang masih menjadi problematika. “Pertama, keroncong itu asal Indonesia atau impor? Kalau baca sekilas di bukunya karya MMI (Museum Musik Indonesia), ada pemaparan menekankan khasanah asli Indonesia,” kata Rakai saat ditemui wartawan di MMI Kota Malang.
Di sisi lain, Rakai juga menemukan sejumlah penelitian yang juga membahas serupa. Namun pada umumnya, pengetahuan tentang asal muasal musik keroncong terbagi atas dua versi. Beberapa ada yang mengatakan dari Portugis, tapi ada pula yang mengatakan sebagai musik asli Indonesia.
Pada versi pertama, musik keroncong dinilai telah dibawa oleh orang Portugis yang masuk ke Nusantara pada akhir abad 15. Namun yang dibawa oleh orang-orang tersebut hanya instrumen musiknya. Tidak ada penegasan warna musik apa yang dibawa oleh orang-orang Portugis tersebut.
Pada penelitian lain, seorang warga Indonesia dilaporkan sempat melakukan riset dengan cara mengunjungi negara yang disebut sebagai asal musik keroncong, yakni Portugal. Yang bersangkutan berusaha untuk mencari kesamaan irama keroncong dengan musik di negeri tersebut. Hasilnya, peneliti tidak menemukan genre yang benar-benar mirip keroncong di Portugal.
“Kalau alatnya, ada satu alat yang sama seperti ukulele. Tapi untuk genre (keroncong) enggak menemukan di Portugal,” jelas alumnus Universitas Negeri Malang (UM) ini.
Berdasarkan data-data tersebut, Rakai pun menyimpulkan, alat musik keroncong mungkin memang dipengaruhi oleh Portugis. Namun untuk irama musiknya, Rakai lebih menyetujui penelitian versi kedua bahwa keroncong dari Indonesia.
Rakai menduga musik keroncong pertama kali hadir di Maluku. Saat itu, daerah yang kaya hasil rempah tersebut didatangi oleh bangsa Portugis. Kedatangan bangsa lain tidak hanya untuk menguasai perekonomian tapi juga ada pertukaran budaya termasuk penyebaran agama katolik.
Menurut Rakai, ada beberapa musik keroncong Maluku yang saat itu mencampuradukan dengan irama gamelan. Selanjutnya, penyebaran musik keroncong pun mulai terjadi ke sejumlah daerah di Indonesia. “Terutama saat budak Maluku dibawa ke Batavia,” jelasnya.
Seiring berkembangnya waktu, musik Keroncong yang semula hadir di Maluku mulai bermunculan di daerah lain. Ada musik keroncong dengan irama Sunda, Jawa, Tionghoa dan sebagainya. Hal ini berarti ada penyesuaian irama musik dengan nilai lokal di masing-masing daerah.
Musik keroncong memang sempat meningkat popularitasnya di masa sebelum 1965. Namun popularitas ini menyurut setelah terjadinya peristiwa 1965. Ada anggapan bahwa pelaku musik keroncong memiliki hubungan dengan PKI.
Rakai pernah bertemu dengan salah satu mantan pemain keroncong di Yogyakarta. Sosok tersebut merupakan pemain biola musik keroncong di era 1950an. Berdasarkan pengakuan sosok pemain tersebut, dia tidak diperbolehkan lagi bermain musik keroncong sejak peristiwa 1965.
“Seluruh pemain keroncong dianggap pengikut Lekra, organisasi bawaannya PKI. Gara-gara ini, pemain keroncong bingung cari makan,” ucapnya.
Setelah itu, tibalah di masa era pemerintahan Suharto. Presiden kedua RI ini dikenal sangat membenci paham komunis, tapi di sisi lain juga mencintai musik keroncong. Sebab itu, popularitas musik keroncong pun dinaikkan kembali tapi tema lagu yang diambil harus berbumbu nasionalis. Jika ada yang menyanyikan lagu seperti Genjer-genjer, maka bisa ditangkap oleh aparat.
Dengan melihat jejak sejarah ini, Rakai pun tak menampik, musik keroncong termasuk bagian warisan tak benda di Indonesia. Meskipun generasi muda tidak terlalu menyukainya, data-data tentang musik keroncong harus disimpan dengan baik. Langkah ini dilakukan agar musik tersebut tidak hilang dimakan oleh waktu.
Album-album keroncong didokumentasikan
Museum Musik Indonesia (MMI) berupaya untuk mendokumentasikan album-album keroncong dari masa klasik hingga modern dalam sebuah buku. Buku berjudul Variety of Indonesian Keroncong Musics ini diluncurkan di MMI Kota Malang, Sabtu (9/10).
Ketua Umum (Ketum) MMI, Hengki Herwanto mengatakan, peluncuran buku berisi katalog musik keroncong ini merupakan amanah yang diterima MMI dari pemerintah. MMI harus bisa mendokumentasikan album-album keroncong di Indonesia. Pada buku ini, MMI setidaknya memasukkan deskripsi 100 album keroncong dari berbagai daerah.
Pemilihan 100 album ini sudah melalui kurasi sederhana. MMI memilih album yang memiliki nilai penting dan istimewa, serta musisinya ahli di bidangnya. “Sehingga kita kumpulkan dalam buku ini, kita ulas masing-masing album, kita deskripsikan. Judul, penyanyi, rilis tahun berapa, track list, label, pencipta,” ungkapnya.
Dari hasil penelusurannya, Hengki melihat, banyak album yang tidak menuliskan label rekamannya. Bahkan, ada yang tidak menyertakan nama pencipta lagu dan tahun produksi. Hal ini menyebabkan nilai kesejarahannya tidak lengkap karena informasinya kabur.
Hengki berharap, keberadaan buku tentang keroncong ini bisa bermanfaat untuk masyarakat. Warisan nenek moyang ini tidak boleh hilang dimakan oleh waktu. Kemudian juga diharapkan tidak dicuri oleh bangsa lainnya karena keroncong adalah karya nenek moyangnya Indonesia.
Sumber: Keroncong, Musik dari Portugis atau Asli Indonesia? (siapgrak.com)
==============================
Kompasiana: Reka Ulang Musik dan Makna Perjuangan ala Reenactor
Kolaborasi Antara Museum Reenactor Ngalam dan Museum Musik Indonesia terwujud dalam penampilan musik bernuansa keroncong ala Reenactor. Giat launching Buku Keanekaragaman keroncong Indonesia, di Museum Musik Indonesia, pada Sabtu, 9 Oktober 2021 merupakan pengejawantahan bahwa musik adalah bahasa universal yang bisa menyatukan dua genre museum yang bergerak di dua bidang yang sama. Dan jadilah acara tersebut sebagai Reka ulang musik dan makna perjuangan ala Reenactor. Berikut ulasannya.
Mengenal Reka ulang ala Reenactor
Bermusik, khususnya keroncong dan lagu lagu bernuansa perjuangan adalah inovasi mengangkat tema reka ulang musik masa perjuangan dalam giat kesejarahan. Mungkin orang mengenal Reenactor sebagai Hobby perang perangan. Sebagian besar kegiatan Reenactor adalah reka ulang yang dikemas dalam drama teatrikal tentang suatu peristiwa sejarah. Antara lain, perang 10 November, serangan umum jogjakarta, Bandung lautan api dan malang bumi hangus. Untuk kepentingan kegiatan tersebut, Reenactor melakukan riset literasi dan studi kepustakaan, wawancara dan salah satu yang spesifik dari Reenactor, adalah studi melalui foto sejarah otentik. Belajar sejarah dari foto, merupakan metode pembelajaran sejarah untuk tujuan untuk mengenali kesesuaian pakaian, senjata yang digunakan dan semua pernik yang bisa digunakan untuk sebuah drama teatrikal yang sesuai dengan bukti dan fakta sejarah yang terbaca melalui foto otentik.
Beberapa drama teatrikal peristiwa sejarah, kadang dipaksakan. Maksudnya, tanpa melakukan riset sejarah ala Reenactor, ditampilkan lah sebuah drama atas nama suatu peristiwa sejarah misal di tahun 1947, pada masa agresi militer Belanda. Karena tanpa riset dan pengetahuan ala Reenactor, maka dandanan yang digunakan apa adanya. Memang meriah, tapi tidak otentik. Dalam istilah Reenactor disebut farb. Dalam drama tersebut, yang jadi pasukan Belanda memakai seragam TNI jaman now, membawa senapan serbu buatan Pindad dan memakai helm baja era jaman now dan ditempeli stiker merah putih biru. Dalam kamus Reenactor, hal ini tidak sesuai fakta sejarah dan bisa membuat rancu pemahaman sejarah bagi para penonton. Jika itu reka ulang tahun 1947, pertanyaannya apakah seragam doreng TNI yang digunakan untuk drama itu, sudah ada ditahun 1947. Apakah senapan serbu buatan Pindad ada bukti otentik digunakan Belanda pada tahun 1947. Apa helm baja tentara jaman now, sudah diproduksi tahun 1947. Itu beberapa pertanyaan menggelitik dari Dunia Reenactor yang perlu kita renungkan. Ini sama halnya dengan sebuah sinetron di televisi nasional yang bercerita jaman Majapahit, tentang putri keraton naik delman. Setingan sangat epik, namun tertangkap kamera ada motor matik dibelakang Dokar yang tiba tiba nyelonong. Pertanyaannya, sudahkan motor matik ada pada jaman mojopahit?
Belajar Pada Foto Sejarah
Berikut adalah sebuah foto sejarah dari tahun 1949. Silahkan disimak
Dalam Reenactor, sebuah foto bisa memancing minat belajar secara komprehensif, untuk mencari apa yang ada dibalik foto tersebut. Dan yang menarik dari foto ini adalah salah satu pejuang membawa gitar. Unik bukan?
Dari sinilah Reenactor Ngalam mulai mengembangkan reka ulang musik sebagai salah satu media pembelajaran sejarah yang bisa menarik minat para muda untuk tertarik belajar dan mengenali perjuangan bangsanya. Musik adalah bahasa universal yang bisa menciptakan atmosfir belajar.
Apa yang ditampilkan oleh Bapak OKI, Adik Magfi dan adik Isti dari sisi pakaian dan segala aksesorisnya, sudah malui riset sejarah ala Reenactor. Merekalah para pejuang di masa damai. Para kesatria bergitar, yang mengalunkan lagu lagu jadoel bergenre Keroncong agar dikenal kembali dan menjadi pemicu keminatan belajar sejarah.
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Hengki, dari Museum Musik Indonesia, yang telah memberikan buku keanekaragaman Keroncong Indonesia kepada kami, dari Museum Reenactor Ngalam dan akan memperkaya koleksi perpustakaan Museum Reenactor Ngalam dan pemahaman bermusik kami khususnya genre keroncong. Semoga semakin banyak sosialisasi dan kolaborasi bermusik bersama antara Museum Reenactor Ngalam dan Museum Musik Indonesia dimasa masa mendatang.
Salam Museum Di Hatiku
Sumber: Reka Ulang Musik dan Makna Perjuangan ala Reenactor Halaman 2 – Kompasiana.com