NORTH SULAWESI
Type of Collection | : Vinyl |
Artist/Group | : Kolintang Kadoodan |
Album Title | : Se Tedu Matuari |
Origin | : North Sulawesi |
Language | : Menado, Indonesia |
Year of Release | : No Data |
Label | : Kadoodan Records |
Serial number | : KND – 1001 |
Contributor | : Museum Musik Indonesia, Malang, 2021 |
Reference Link: http://www.inspirasikawanua.com/2019/10/15/ini-fakta-sejarah-asal-usul-kolintang-menurut-alexander-katuuk/
Tracklist
NO | Song Title | Songwriter | Lead Vocal | Language |
SIDE A : | ||||
1 | Se Tedu Matuari | A Sundah | Vivi Sumanti | Menado |
2 | Si Pelaya Laya | Iwi Sundah | Rosa Lesmana | Menado |
3 | Niko Mokan | Tradisional | Otto Wowiling | Menado |
4 | Lautan | Trad/Kadoodan | Rosa & Otto | Menado |
5 | Teitei Raar | J. Sundah | Vivi Sumanti | Menado |
6 | Werenan | A Sundah | Rosa Lesmana | Menado |
SIDE B : | ||||
1 | Debo Yoi | R. Palada | Otto Wowiling | Menado |
2 | Onete Tanda Mata | Trad/Kadoodan | Vivi Sumanti | Menado |
3 | Dung Nene | NN/J.Sundah | Rosa Lesmana | Menado |
4 | Sumosod | Trad/Kadoodan | Rosa & Otto | Menado |
5 | Genangku | Khe Sompie | Vivi Sumanti | Menado |
6 | Cinta Dalam Hati | Chilung R. | Otto Wowiling | Indonesia |
Biography
Kolintang is a traditional Minahasa percussion instrument from North Sulawesi, Indonesia consisting of wooden blades arranged in a row and mounted on a wooden tub.
Kolintang is usually played in an ensemble. Kolintang in the Minahasa community is used to accompany traditional ceremonies, dance, sing, and make music.
The wood used to make Kolintang is light but strong local wood such as Egg wood (Alstonia sp), Wenuang wood (Octomeles Sumatrana Miq), Cempaka wood (Elmerrillia Tsiampaca), Waru wood (Hibiscus Tiliaceus), and the like which have parallel fiber construction. .
In 2013, the kolintang musical instrument from the Minahasa tribe, North Sulawesi was recognized as an intangible cultural heritage of Indonesia by the Indonesian Ministry of Education and Culture.
About the Album
A. Sundah’s Kolintang Kadoodan was produced by Kadoodan Records by featuring local singers: Vivi Sumanti, Rosa Lesmana and Otto Wowiling,
Alfred Sundah himself is a national kolintang figure from Lembean, North Minahasa Regency, who has contributed to raising the single kolintang player Nelwan Katuuk on the national stage.
Musical Instruments that were previously a single musical instrument in the form of a melody played by one person were developed into an ensemble musical instrument by Alfred Sundah so that it can be played with bass, guitar and ukulele.
Alfred Sundah was also the first person to establish a kolintang group in Jakarta in 1968 under the complete name of the Kolintang Kadoodan Orchestra which was played by 6-7 musicians so that it became a musical ensemble.
He also contributed greatly to northern Minahasa culture by creating and publishing a Tonsea Language Dictionary.
Story
There is a Minahasa folklore about the origin of the discovery of the kolintang musical instrument. In a village in Minahasa there is a girl who is very beautiful and good at singing named Lintang. One day Lintang was proposed by Makasiga a young man and a woodcarver. Lintang accepted Makasiga’s proposal on one condition, namely that Makasiga had to find a musical instrument that sounded more melodious than a gold flute. Makasiga with wood carving skills managed to find the musical instrument that is the forerunner of kolintang.
Value
The important value of this album is that as a people of Sulawesi, this album contains songs typical of the Minahasa region and deliberately performed by singers from their native regions to better reflect their local wisdom.
Writer: Achmad Djauhari – Indonesian Music MuseumBiography
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Biography
Kolintang adalah alat musik pukul tradisional dari Sulawesi utara yang terdiri dari bilah-bilah kayu yang disusun berderet dan dipasang di atas sebuah bak kayu.
Kolintang biasanya dimainkan secara ansambel. Kolintang dalam masyarakat minahasa digunakan untuk mengiringi upacara adat, tari, menyanyi, dan bermusik.
Kayu yang dipakai untuk membuat Kolintang adalah kayu lokal yang ringan namun kuat seperti kayu Telur (Alstonia sp), kayu Wenuang (Octomeles Sumatrana Miq), kayu Cempaka (Elmerrillia Tsiampaca), kayu Waru (Hibiscus Tiliaceus), dan sejenisnya yang mempunyai konstruksi serat paralel.
Pada tahun 2013, Alat musik kolintang dari suku minahasa, Sulawesi utara diakui sebagai warisan budaya tak benda Indonesia oleh kementrian Pendidikan dan kebudayaan Indonesia.
About the Album
Kolintang Kadoodan asuhan A. Sundah diprpduksi oleh Kadoodan Records dengan menampilkan penyanyi local : Vivi Sumanti, Rosa Lesmana dan Otto Wowiling.
Alfred Sundah sendiri adalah tokoh kolintang nasional asal Lembean Kabupaten Minahasa Utara,yang berkontribusi mengangkat pemain kolintang tunggal Nelwan Katuuk di kancah nasional.
Alat Musik yang sebelumnya adalah alat musik tunggal berupa melodi yang dimainkan satu orang dikembangkan menjadi alat musik ansamble olah Alfred Sundah hingga bisa dimainkan dengan bass,gitar dan ukulele.
Alfred Sundah jadalah orang pertama yang mendirikan group kolintang di Jakarta tahun 1968 dengan nama Orkes Kolintang Kadoodan. Orkes ini secara lengkap dimainkan oleh 6-7 orang pemain musik sehingga menjadi ansamble music.
Juga berjasa besar bagi budaya Minahasa utara dengan membuat dan menerbitkan Kamus Bahasa Tonsea.
Story
Ada suatu cerita rakyat Suku Minahasa tentang asal-mula ditemukannya alat musik kolintang. Dalam suatu desa di Minahasa terdapat seorang gadis yang sangat cantik dan pandai bernyanyi bernama Lintang.
Suatu hari Lintang dilamar oleh Makasiga seorang pemuda dan pengukir kayu. Lintang menerima lamaran Makasiga dengan satu syarat yaitu Makasiga harus menemukan alat musik yang bunyinya lebih merdu dari seruling emas. Makasiga dengan keahlian mengukir kayu berhasil menemukan alat musik tersebut yaitu cikal bakal dari kolintang
Value
Nilai penting dari album ini adalah sebagai masyarakat Sulawesi dalam album ini memuat lagu lagu khas daerah Minahasa. Ditampilkan penyanyi dari daerah asalnya agar semakin mencerminkan kearifan lokalnya.
Writter: Achmad Djauhari – Museum Musik Indonesia