
Seabad Sesudah Ismail Marzuki
Mencari yang belum ketemu
Kronik ringkas perkembangan musik modern (di) Indonesia awal abad 20 hingga kini
Oleh Suka Hardjana
PENGANTAR
Essei ini hanyalah sebuah catatan pribadi dalam bentuk kronik sana-sini yang tidak ilmiah.Ia hanyalah sebuah isue singkat dalam opini yang belum tentu shahih kebenarannya.Oleh karena itu, sebagai sebuah bacaan ringan yang tidak serius, tidak perlu dipercaya bobotnya.
Yang dimkasud dengan Seabad sesudah Ismail Marzuki. Bukanlah telaah sejarah. Ia (judul) ini hanya memanfaatkan 100 tahun hari kelahiran pencipta lagu-lagu pendek bernuansa kebangsaan dan perjuangan manusia Indonesia di awal kebangkitannya.Frasa Mencari yang belum ketemu, berupaya memberi catatatn singkat akan perkembangan musik di Indonesia pascaproklamasi hingga hari ini.
Sementara kata modern dalam kalimat….musik modern (di) Indonesia bersifat umum saja.Artinya, ia sama sekali tidak berhubungan dengan genre modern (ismus) yang berkembang di Eropa pada akhir abad 19 dan awal abad 20.Ia (modern) juga sama sekali tidak berhubungan dengan pengertian modernisasi sebagi suatu konsep pembangunan (movement), atau wacana cara (ke)hidup(an) baru yang membedakannya dengan cara dan pandangan hidup lama (tradisi).Kata modern dalam frasa itu hanya sekedar untuk menandai perbedaan (adopsi dan pemakaian instrumentarium dan dasar-dasar teori elementer musik Barat yang diaplikasikan, misalnya: musik keroncong, hiburan dan seriosa) dengan musik rakyat dan musik tradisional, seperti musik gamelan-angklung-saluang, sasando, kecapi, tanjidor dan sebagainya.Untuk itu, secara singkat akan coba dibacakan kembali uraian-uraian ringkas tentang beberapa hal yang secara grambyangan mungkin bisa membantu pemahaman-pemahaman kita mengenai perspektif perubahan-perubahan di bumi Nusantara pada awal abad 20, seperti berikut ini:
-Gerakan awal penyadaran kebangsaan di ranah jajahan Hindia Belanda
-Ismail Marzuki dan para pencipta lagu (ber)kebangsaan Indonesia awal abad 20.
-Sekolah Musik (Seni) dan agenda Bintang Radio awal tahun 1850-an.
-Wacana musik di Indonesia sampai akhir abad 20 hingga kini: budaya populis-seni tradisi dan musik masa kini.
-Musik Indonesia atau musik di Indonesia (post syndrom nasionalisme “Kebudayaan Nasional”

GERAKAN AWAL PENYADARAN KEBANGSAAN
Blow up !
Pada bagian ini saya akan memulai dengan sebuah asumsi keliru dan absurditas kenyataan sejarah yang tidak saya mengerti hingga hari ini.Hollanda atau Walondo adalah sebuah negara kecil, yang pada masanya tak terhitung sebagai negara adiperkasa seperti imperium Inggris, Perancis, Italia, Jerman, rusia atau Spanyol.Penduduknya tidak sampai sepuluh juta, pada waktu itu.Ia terus-menerus menjadi negara taklukan dari negara-negara tetangganya.Bagaimana mungkin, negeri sebeesar ini-Nusantara-yang hingga hari ini sering diteriak-teriakkan (blowing up) sebagai bangsa dan negara besar–bisa ditaklukkan dan dijajah selama 350 tahun oleh sebuah PT perusahaan dagang kecil yang bernama VOC? Fakta ini–dalam konteks global power hari ini–di antara bangsa-bangsa terhisap dan penghisap–apakah tidak pernah dibicarakan untuk membuktikan bahwa kita memang bukan bangsa besar, tapi sebuah big village yang telah berubah total menjadi pasar global yang tak terbendung?
Kenyataan sejarah (pahit) ini membentuk dan mempengaruhi sikap dasar (attitude) dan tatapikir (mindset) kita hingga hari ini–yang masih mengidap sindroma inlander (minder dan terbelakang) dan trauma feodal-kolonial (penggerutu, tidak mardiko dan masih percaya pada fantasi takhyul).Barangkali, inilah sebabnya ada seorang calon presiden R.I. yang mencanangkan : akan melakukan revolusi mental ! namun sebelum itu, saya bisa mengerti bahwa kenyataan sejarah awal terbentuknya Republik ini, sebenarnya dimulai dengan perasaan terhina sebagai manusia terjajah–yang kemudian membangkitkan kesadaran bersama akan pentingnya gerakan kebangsaan di negeri ini (baca lebih lanjut: Di Bawah Bendera Revolusi, Ir.Soekarno 1963; Ensiklopedi Umum, Jajasan Kanisius 1973).
Dalam konteks ini, saya menghubungkannya dengan asumsi keliru yang saya sungguh tidak tau–seperti saya sebut di awal tulisan itu.Saya tidak paham, apa beda nasib dengan takdir.Saya hanya menduga, bahwa takdir bersifat Illahi.Nasib, berawal dari ulah alam dan manusia.Melihat bacaan-bacaan sejarah awal negeri ini, saya menduga ada semacam dialektika (materialisme) sejarah–bahwa semua atau sebagian besar para penduduk bumi Nusantara yang lahir di awal abad 20–ditakdirkan untuk mengubah nasib bangsa dan negeri ini dari sejarah penindasan penjajahan bangsa lain.Bacaan-bacaan menjelaskan, bahwa mereka–terutama para pemuda dan kaum terpelajar–yang lahir pada akhir abad 19 dan awal abad 20–menjadi bagian dari gerakan kebangsaan itu: H.O.S.Tjokroaminoto, Cipto Mangoen Koesoemo, Wahidin Soedirohoesoedo, Soekarno, Mochamad Hatta, Muhammad Yamin, Sutan Syahrir, Ki Hadjar dewantara (Soerja-disoerjoningrat) dan sebagainya.Mereka semua dilahirakn pada periode akhir abad 19 atau awal abad 20.
Sebagian besar organisasi gerakan penyadaran kebangsaan pun juga dilahirkan pada periode ini.Kita ambil beberapa contoh:
Boedi Oetomo-Wahidin Soedirohoesodo, Batavia, 20 Mei 1908:”…..mendjoendjoeng deradjat rakjat dan bangsa…”
Muhammadiyah-Kjahi Hadji Ahmad Dahlan, Djogjakata, November 1912:”..memadjukan pengadjaran/pendidikan berdasarkan agama Islam.”
Taman Siswo-Ki Hadjar Dewantara, djogjakarta, Djuli 1922:”…pendidikan Nasional haroes bertolak dari kebudajaan dan peradaban Indonesia:””berdikari” berdiri sendiri–tidak bersedia menerima soebsidi dari pemerintah djajahan oentoek mendjaga kebebasan:Toetwoeri handajani; mengembangkan kepribadian dan bakat anak setjara alami”..
Pakempalan Politik Katolik Djawa-Perhimpoenan Kaoem Katholik Djawa, Djogjakarta 1923, “..berazaskan ajaran Katolik dan bersifat evolusioner nasional djawa dan Indonesia…” (baca lebih lanjut: Ensiklopedia Umum, Jajasan Kanisius 1973)
Saya berasumsi bahwa gerakan politik dan kemasyarakatan penduduk Hindia Belanda (baca:Nusantara) tidak dimulai dengan gerakan kemerdekaan dan kedaulatan, melainkan dimulai dengan gerakan penyadaran kebangsaan dengan tujuan untuk mencerdaskan-mengangkat harkat dan martabat bangsa-dan membebaskan warganya dari belenggu kekuasaan penjajahan.Hampir semua preambule organisasi massa, organisasi politik, organisasi pemuda dan organisasi kemasyarakatan pada masa itu menyebutkan yargon-yargon politik kebangsaan yang mengusung semangat pembebasan, kedaulatan, kemandirian, kecerdasan dan martabat bangsa serta kepribadian nasional (baca: Indonesia).
Apakah setelah 100 tahun, cita-cita itu kini telah tercapai? Dalam kesempatan yang mulia ini, saya ingin berpesan untuk tidak melupakan ide fix pertanyaan itu.Kecerdasan, martabat, kemandirian, kedaulatan, kebebasan..dan pendek kata kemerdekaan itu sungguh terlalu mahal untuk tidak diingat !
(BERSAMBUNG)