Mendengarkan Dua Wajah Musik Bali

0

Oleh

M Zain Aldin / Internship Museum Musik Indoenesia

Kiyang Linduh dari dusun Sebual, Jembrana, mengawali budaya musik Jegog yang kemudian pada tahun 1998 akan dibawa oleh seorang seniman musik Bali, Ketut Suwentra alias Pekak Jegog, ke panggung dunia: upacara pembukaan piala dunia Prancis. Pada momen inilah Jegog sebagai sebuah kesenian musik disorot dan diperdengarkan dalam skala bumi. Jegog adalah tabuhan gamelan berbahan dasar bambu besar yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk suatu set alat musik pentatonic yang tersusun membentuk barungan jegog. Orkestrasi yang turut meramaikan latar suara pada pembukaan kompetisi sepak bola terbesar saat itu, berpadu padan dengan nuansa budaya lain dari seluruh bagian dunia. Pencapaian kelompok musik Jegog yang dikomandani Ketut Suwentra itu adalah perwujudan betapa musik Bali telah diterima oleh banyak pendengar dari berbagai latar budaya di planet ini.

I Ketut Suwentra adalah sosok besar di dunia kesenian, khususnya segmen kesenian Jegog.  Setelah mengkhatamkan pembelajarannya di ASTI (sekarang ISI), keberadaannya sebagai seniman jegog makin kukuh dalam belantika seni dan kebudayaan, ia mulai menjadi langganan banyak acara pertunjukan budaya, membawakan orkestrasi jegog beserta Tari Makepung yang merupakan tarian pengiring ciptaanya ketika menyelesaikan tugas akhir di ASTI. Ini adalah awal dari perjalanan Pekak Jegog membawa kesenian Jegog pada pentas-pentas dunia.

Salah satu koleksi terbaik Museum Musik Indonesia: Rekaman kaset Gamelan Jegog yang diperdengarkan saat tur Suar Agung di Jepang

Orkestra Jegog menawarkan kecepatan getaran bambu yang ditabuh hingga beresonansi dengan detak jantung juga dengus nafas penonton atau pendengarnya. Ini membuat Jegog menjadi musik yang amat merakyat dan mudah didengarkan, ujar sang maestro dalam wawancaranya bersama Bali Express dan klaim itu benar belaka. Kesenian khas Bumi Marpaung ini dipanggungkan bersama sosok yang tak tanggung-tanggung: Mick Jagger, Vokalis The Rolling Stones, pada perayaan runtuhnya tembok Berlin yang memisahkan Jerman Timur dan Barat pada 1989. Mick Jagger yang rupanya jatuh hati pada suara yang digetarkan oleh orkestrasi Jegog Ketut Suwentra memutuskan untuk melakukan pernikahan di Bali dan diiringi oleh gemuruh tabuh-tabuhan musik bambu tersebut.

Bali adalah fenomena musik yang genuine untuk diamati dan dinikmati perkembangannya. Margaret Mead dan Gregory Bateson membingkai secara teoritik orang-orang Bali sebagai schizoprenik. Kondisi ini terbentuk dari proses interaksi sosial alih-alih proses biologis (Andrew, 2013). “Karakter schizoprenik” yang disebut oleh Mead dan Bateson dapat ditafsirkan sebagai ungkapan bahwa Bali memiliki dua wajah yang masing-masingnya sama sekali berbeda. Identitas ganda ini, tidak bisa tidak, turut terartikulasikan dalam produk-produk musiknya sebagaimana menurut Hermawati (2015) Musik etnik lahir dari buah interaksi dinamis dengan pelbagai konteks.

Wajah lain Bali yang Kontemporer

Semenjak orde Soeharto berkuasa, akses kerjasama dengan negara Asing dibuka lebih lebar. Hal ini berdampak pada aspek ekonomi hingga interaksi sosial di Indonesia. Seiring waktu, Bali, yang diproyeksikan sebagai kawasan warisan budaya dengan mengunggulkan aspek budaya dan pariwisata, semakin ramai didatangi berbagai macam manusia dari berbagai negara di belahan dunia. Tak sedikit yang menetap di Pulau Dewata tersebut dalam rentangan waktu yang cukup lama. Kedatangan manusia-manusia baru ini kemudian membentuk interaksi-interaksi sosial baru. Sebagaimana yang dilihat Mead dan Boteson, Bali, baik sebagai satuan masyarakat maupun satuan budaya, kemudian memiliki dua wajah yang masing-masingnya sama sekali berbeda: wajah Bali yang tradisional dan wajah Bali yang telah beresonansi dengan masyarakat global.

Selain musik tradisional bali yang erat dengan pakem-pakem dan falsafah di balik lantunan dan tabuhannya, wajah lain musik bali juga amat menarik untuk ditengok. Pada 1975, seorang composer Jerman, Ebenhard Schoener, merilis sebuah album berjudul “Bali Agung,” sebuah album eksperimental yang mengawinkan musik rock dengan notasi musik tradisional Bali. Ebenhard menerapkan suara-suara futuristic dari synthesizer dan efek-efek eletronik pada iringan orchestra gamelan Bali saba dan pinda yang dibawakan oleh Agung Raka, menciptakan paduan suara yang kaya lagi magis. Pada tahun itu, di Jerman, sedang bertumbuh gaya rock alternatif yang melibatkan suara-suara elektronik futuristik. Sebuah majalah musik Jerman, Melody Maker, memberi istilah pada jenis musik ini sebagai genre krautrock yang berarti rock dingin. Rupa-rupanya krautrock inilah yang dibawa Ebenhard untuk disintesiskan dengan musik tradisional Bali, sebuah letusan karya dari pertabrakan antara musik etnik dan musik mesin khas Jerman.

Rekaman Kaset eksperimen Ebenhard Schoener: gabungan krautrock dan music etnik Bali. Salah satu koleksi Museum Musik Indonesia.

Pada nomor lagu pertama, “Tjandra,” lagu dibuka dengan suara synthesizer yang seolah menuntun pendengar dengan perlahan pada sebuah semesta musik yang gelap dan misterius, hingga masuk pada 10 detik di menit ketiga, mulailah kita sampai pada semesta eksotis Bali lewat iringan akustik bambu dari orkestrasi Agung Raka yang mulai terdengar secara sayup dan halus.

Pada awalnya, musik eksperimen dengan melibatkan notasi-notasi khas Bali muncul melalui tangan seorang etnomusikolog bernama Collin Mcphee pada 1934. Garapannya yang bertajuk “Tabuh-tabuhan” itu, di kemudian hari, akan menyulut obsesi Guruh Soekarnoputra yang kala itu sedang melakukan studi di University of Amsterdam, Belanda, untuk menginisiasi proyek ambisius bersama Keenan Nasution dan kelompok musiknya yang bernama Gipsy. Proyek tersebut kemudian dibekukan dalam bentuk kaset yang hanya dirilis terbatas sejumlah 5000 eksemplar.

“Indonesia Mahadhika,” nomor pembuka dari album eksperimen itu banyak menuai pujian dari penikmat musik eksperimen. Track sepanjang 15 menit itu dipenuhi suara yang kaya dari berbagai macam alat musik elektronik dan tradisinonal, yang oleh Guruh seolah dimasak dengan cakap dan lihai, menghasilkan magnum opus musik yang layak ditaruh sebagai milestone peradaban musik Indonesia di tahun 70-an.

Museum Musik Indonesia memiliki 1 dari 5000 keping kaset album Guruh Gipsy. Termasuk koleksi langka yang susah didapatkan saat ini.

Musik Bali adalah suara tradisi, dan di saat yang sama, dari Bali kita mendengar suara modern lewat lagu-lagu kontemporernya. Keduanya, telah diperdengarkan dalam skala dunia. Bali adalah wujud bagaimana tradisi dan modernitas, seiring waktu, dapat berkelindan membentuk serat-serat musik yang menjadi identitasnya sendiri, sesuatu yang amat sayang untuk dilewatkan.

Seorang penikmat musik adalah pengembara yang dituntun oleh suara-suara. Sebuah perjalanan musik tak asyik jika hanya jalan di tempat belaka. Mendengarkan musik-musik baru, juga menguping ke belakang pada musik-musik lama, adalah usaha terbaik bagi seorang penikmat musik untuk selalu membuka telinganya lebar-lebar pada kemungkinan-kemungkinan misterius yang akan dicapai oleh musik.

Daftar Pustaka

McGraw, Andrew Clay. Radical Traditions: Reimagining Culture in Balinese Contemporary Music. Oxford University Press, 2013.

Arini, Sri Hermawati Dwi, and Didin Supriadi. “Karakter Musik Etnik Dan Representasi Identitas Musik Etnik.” Panggung 25.2 (2015).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here