Menengok ke Belakang dan Menjura: Hingar Bingar 70, Kejayaan Rok Progesif Indonesia

0

Oleh

M Zain Aldin / Internship Museum Musik Indoenesia

Rupanya kemunculan musik rock di semesta musik pada pertengahan tahun 50an membawa kemungkinan-kemungkinan lain yang mengekor di belakangnya serupa gerbong kereta. Dari musik rock, kemudian muncul tunas-tunas baru sub-genre musik. Salah satu yang paling menggebrak adalah kemunculan rock progesif. Pada akhir dekade 60an, musisi-musisi rock, seperti The Beatles dan The Beach Boys, yang tak puas belaka tanpa bereksperimentasi memunculkan sub genre yang lekat dengan predikat “musik pintar” ini. Eksplorasi para pioneer musisi rock progesif dengan menerapkan alat musik tradisional, klasik, dan jazz, juga suara-suara elektonik ke dalam komposisi musik mereka membuat rok progesif menjadi musik yang amat kaya sekaligus rumit. Rock Progesif menawarkan gebrakan-gerbrakan baru terhadap genre musik yang tersekat-sekat. Mendengarkan rok progesif, seperti melihat kebebasan eksplorasi dan keleluasaan daya pandang terhadap panorama musik, melampaui pakem-pakem musik yang telah ditentukan oleh orang-orang terdahulu, all in all it’s just another brick in the wall, kata Pink Floyd, dan rock porgesif telah menjebolnya.

Jika ditilik jejak keseniannya, rock progesif bisa dikatakan adalah seni yang menyusuri jalur rel formalisme dan eklektisisme. Formalisme, menurut Leonard B. Meyer, cenderung menekankan letak makna musik pada hubungannya sebagai sebuah karya seni alih-alih bersemayam pada relasinya dengan perasaan dan emosi pendengar. Hal ini dapat dilihat dari produk-produk rock progesif yang cenderung kompleks dan mengedepankan permainan alat musik, berikut komposisinya, yang brilian. Dan sebagai sebuah bentuk keberlanjutan dari ekletisisme, yang mana menurut Michale Kenedy adalah penggunaan gaya bermusik yang asing bagi seorang composer dan secara sadar ia gunakan, atau dengan kata lain lompatan-lompatan radikal dari seorang composer dalam melakukan eksplorasi permainan musik, rok progesif adalah wujud dari karya seni musik progesif dengan rock sebagai benih tumbuhnya.

Band-band yang kemudian menjadi besar melalui jalur ini seperti The Beatles, Yes, ELP (Emerson, Lake, & Palmer), Pink Floyd, atau Led Zeplin adalah kelompok-kelompok musik yang tak berhenti mengeksplorasi, dan terus menyicil bangunan besar rok progesif yang kemudian terus dikembangkan dan dibangun oleh penerus-penerusnya. Adalah Radiohead, sebuah fenomena di tahun 1986, yang kemudian berhasil mengumpulkan sekian banyak manusia fanatic yang tak segan menjunjung karya-karya mereka hingga saat ini. Sebagai sebuah band progesive rock, lagu-lagu Radiohead berdengung di kepala jutaan pengikutnya sebagai “musik pintar” yang misterius, beberapa orang mengkaji misteri-misteri lagu-lagu Radiohead dan beberapa yang lain memuji-muji albumnya, “OK Computer” sebagai album yang mengartikulasikan dystopia zaman yang serasa makin dekat akibat kecanggihan teknologi. Baik itu The Beattles dengan “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” atau King Crimson dengan “In the Court of the Crimson King”, atau Pink Floyd dengan “The Dark Side of the Moon” atau Jethro Tull dengan sentuhan klasiknya pada “Locomotive breath” dan peleburan folk pada “Thick As A Brick”, atau Radiohead itu sendiri dengan “Ok Computer,” menunjukkan betapa rock progresif adalah kereta kencang yang siap membobol apapun demi pencapaian musik yang tak pernah terdengar sebelumnya.

Vibrasi Rock Progesif di Indonesia

Riuh pekak rock progesif tak hanya berdengung di Eropa dan Amerika belaka. Bagaimanapun hasrat untuk membebaskan diri adalah ruh dalam musik progesif. Dan ruh yang juga bersemayam di dalam diri musisi-musisi tanah air itu, diam-diam mulai bangkit pada tahun 1970, tepatnya di Pasar Minggu Bandung melalui pertemuan seorang pengusaha tekstil keturunan India bernama Bhagu Rachmand, dengan empat orang mahasiswa yang kemudian akan melahirkan kelompok musik bernama Shark Move, dan mengumandangkan musik aneh yang sama sekali berbeda dengan musik populer di Indonesia kala itu.

Kalender musik Indonesia di tahun 70an memang diisi hari-hari menggemparkan yang mengagetkan. Kecamuk politik 65 serta eskalasinya yang menyebabkan tak sedikit jumlah darah tumpah,  masih menjadi horor yang menghantui banyak penduduk Indonesia di tahun-tahun itu. Dialah Benny Soebardja, musisi asal Bandung, ia merekam kekejian rezim kala itu dalam lagunya yang berjudul “Evil War” (People run/ my people run/sacrifice will come again and soon be there). Bersama kelompok musiknya, Shark Move, (gitar, vokal), Soman Loebis (keyboard, vokal), Janto Diablo (bass, flute), dan Sammy Zakaria (drum) seolah mengartikulasikan kemarahannya pada tingkah polah rezim orde baru dalam format lagu beraliran rock progesif tersebut. Jati diri rock progesif yang bertemu dengan gagasan pemberontakan pada rezim yang represif adalah kombinasi yang klop betul. Album pertama sekaligus pamungkas mereka, “Gedhe Chokra’s” seolah memang hadir secara utuh sebagai antithesis dari arus musik populer kala itu. Album itu sudah progesif sejak dari covernya. Cover album yang bergaya surreal menggambarkan para personil band tersebut menaiki paus bersayap putih dan mengangkat tombak ke arah kalajengking di lautan luar angkasa, suatu gaya yang jarang dipakai saat itu, hingga dari komposisi musik yang membobol pakem (sinkopasi), dan juga lirik-lirik lagunya yang banyak bercerita tentang kekecewaan dan kemarahan atas tragedy 65 adalah sebuah pilihan jalur penuh marabahaya di masa kediktatoran militer Soeharto.

Salah satu koleksi Museum Musik Indonesia yang langka yakni piringan hitam album pertama dan terakhir Shark Move, Ghede Chokras

Tak hanya Shark Move, di era 70an inilah, band-band rock progesif mulai bermunculan tanah air, musisi-musisi berpikiran terbuka yang tak segan meraup kemungkinan dari musik tradisional yang sakral dan mengutak-atiknya bersama dengan terpaan musik modern dari negeri-negeri di atas angin yang kala itu mulai santer berhembus, menjadikan dekade 70 sebagai tahun-tahun milik rok progesif Indonesia.

Rock Progesif yang Kian Menghentak

Keberadaan majalah Aktuil yang digawangi tiga anak muda Bandung, Bob Avianto, Toto Rahardjo, dan Denny Sabri, juga masuknya Remy Sylado ke jajaran redaksi menjadi gayung bersambut bagi rok progesif, yang kala itu sekaligus mengimpor budaya tanding dari Amerika, ke Indonesia. Aktuil yang rajin memberikan sorotan mentereng pada panggung-panggung AKA, Ternchem, serta band-band rock progesif lainnya di era itu, dan bahkan menerbitkan album “Titik Api” Harry Roesli pada 1973, membuat rock progesif semakin melebur menjadi bagian gaya hidup tanding anak muda Indonesia, sebuah guncangan dahsyat bagi industry dan budaya musik mapan Jakarta. Kala itu, bagi Aktuil, atau bagi Remy, musik arus utama adalah suatu aib.

Album Titik Api Harry Roesli dalam bentuk piringan hitam, salah satu koleksi langka Museum Musik Indonesia

Maka demikianlah, rok progresif kian bertumbuh dan berdengung makin nyaring di telinga anak muda Indonesia, band-band dengan kemampuan personil yang tak main-main berangsur-angsur lahir. Benny Soebardja, yang kala itu harus menerima kenyataan pahit, rekannya, Soman Loebis, meninggal karena kecelakaan, membuatnya menutup Shark Move dan kemudian bersama Albert Warnerin, keduanya adalah jagoan gitar dan penulis lagu produktif, membentuk kelompok band dengan nama Giant Step pada 1973 dan turut memeriahkan pesta pora rock progesif dengan albumnya “Giant on the Move!” yang mulai menghentak pada 1976. Di Palembang, lahir pula Goldeng Wing, band dengan pengaruh Uriah Heep dan Black Sabbath, dua raksasa di jagad rock progesif dunia, yang digagas oleh Piter Kenn, Kun Lung, Tarno S dan karel Simon pada 1969. Namun, band yang merilis album “Mutiara Palembang” pada 1974 ini harus mengalami kejatuhan semenjak terjadinya perselisihan idoelogi antar personil.

Pada tahun 2011, Now Again Record merilis album kompilasi berjudul “Those Socking Shaking Days” yang berisi 20 nomor lagu dari berbagai band rock progesif di era 70an, sebuah usaha menengok kembali karya-karya brilian era itu. Di dalam album tersebut, melalui hasil kurasi Benny Soebardja dan Chandra Drews, kita bisa mendengarkan hasil-hasil eksperimentasi dari kelompok musik seperti Panbers, The Brims, Rollies, Super Kid, Shark Move, Golden Wing, AKA, Ivo’s group, Ariesta Birawa Group, Ternchem, Benny Soebardja And Lizard, Koes Plus, The gang of Harry Roesli, Black Brothers, Rasela, Freedom of Rhapsodia, Rhythm Kings, Duo Kribo, dan Murry. Kesemuanya adalah karya yang amat sayang untuk dilewatkan.

Meski tak masuk dalam jajaran kompilasi “Those Socking Shaking Days”, lagu-lagu di album ‘Alam Raya” besutan Abbhama, sebuah band progesif yang lahir di komunitas kampus Institut Kesenian Jakarta dengan motor Iwan Madjid (vokal, piano, synthesizer, flute), Darwin B Rachman (bas, keyboard), Cok B (gitar), Robin Mangunsong (drum), Dharma (flute), Oni (keyboard), dan Hendro (oboe) di tahun 1977, juga merupakan harta karun yang layak didengus kembali eksistensinya. Kepercayadirian Abbhama dalam membubuhkan suara-suara gamelan pada notasi musik rock menghasilkan hidangan rock progesif yang sedap lagi nikmat. Maju beberapa tahun, pada 1996, lahir Discus dari tangan Iwan Hasan dan Anto Praboe. Meski kala itu dengung rock progesif tidak sekencang tahun 70an, kehadiran Discus bagai pohon tua yang angkuh melawan arus musik populer yang kian deras. Hal itu terbukti belaka dengan sederet penghargaan yang mereka dapatkan. Discus meraih penghargaan “AMI Samsung Award 2004” lewat lagu Anne di album “…Tot Licht!” dan “Band Rock Progresif Terbaik 2004”.

Album antology musik rock progressif Indonesia, Those Shocking Shaking Days, salah satu koleksi langka Museum Musik Indonesia

Perjalanan dekade kejayaan rock progesif harus selesai di tahun 80an, dengan gempuran sub genre pop kreatif yang asyik dipakai bergoyang, orang-orang mulai gemar mendekatkan kupingnya ke album-album disco dengan nuansa city pop seperti “Sakura” dari Fariz RM atau “Badai Pasti Berlalu” dari Chrisye. Kesurutan ini bukan berarti rock progesif telah tamat, kita masih bisa mendengar dengung kuatnya di kejauhan, di bawah tanah, di tempat-tempat yang akan kita temui, selama kita mau menggali dan mendengar lebih jauh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here