Oleh
M Zain Aldin / Internship Museum Musik Indoenesia
Tak hanya rock, music pop pun bercabang serupa jalan raya kota, dan sampai pada music yang identic dengan kilau lampu dan gedung tinggi, ialah pop urban, musik cantik yang menarik orang-orang kota untuk beranjak menari.
Berpusar di Jakarta, pada akhir dekade 70 hingga puncaknya pada dekade 80, pop urban mengumandang dengan gemilang, di radio-radio dek mobil, di perayaan-perayaan kantor, di dalam kamar, di manapun, lagu-lagunya mengisi latar suara peradaban kota. Musik dengan ketukan drum ritmis, betotan bas yang centil, petik gitar perkusif dengan teknik palm muting, dipadu dengan larat suara elektone dan synthesizer itu adalah kemungkinan yang terwujud dari pembangunan tata kota yang pesat dan terciptanya kultur pekerja gedongan beserta gerak masyarakatnya yang cepat. Maka tak aneh jika lagu-lagu pop urban menyemayamkan ruhnya pada ketukan yang cenderung teratur, cepat, namun masih terasa ambang udara depresifnya, mencerminkan sifat-sifat yang ada pada orang perkotaan kebanyakan, serupa merayakan kesedihan dengan joged gembira di bawah kilau lampu lantai dansa.
Bagaimanapun, mendefinisikan pop urban adalah urusan rumit. Sebagaimana sub genre music lainnya, pop urban menerapkan eksplorasi kreatif dari para musisi dan composer yang mau dengan berani bereksperimen dan mengutak-atik partitur lagu. Namun, jika didengar dengan lamat-lamat, pop urban memuat sentuhan funky dalam tiap aransemen musiknya, detak yang menyulap lagu-lagu pop urban, baik yang bertempo kencang maupun lambat, menjadi ajakan untuk menggoyangkan badan, atau setidaknya mengangguk nikmat.
Sosok-sosok seperti Utha Likumahuwa, January Christy, Chandra Darusman, Chrisye, atau Fariz RM adalah musisi dengan karya-karya yang sempat meramaikan pikuk tengah kota di dekade 70-80 dengan genre lagu ini. Utha, dalam lagunya yang berjudul “Esok Kan Masih Ada” jelas dengan santai berusaha mengatakan, bahwa esok akan baik-baik saja, lagu yang seolah menjelma karib yang menepuki pundak-pundak orang-orang kota yang harus berpacu mengejar arus peradaban kota, nyaris tanpa istirahat.
Wajahmu kupandang dengan gemas
Mengapa air mata selalu ada di pipimu
Hai nona manis
Biarkanlah bumi berputar
Menurut kehendak yang kuasa
Apakah artinya sebuah derita
Bila kau yakin itu pasti akan berlalu

Jika Remy Sylado mengatakan dalam jurnal Prisma edisi Juni 1977 bahwa music pop adalah music niaga, maka pop urban adalah music yang mengiringi arus kencang ekonomi perkotaan. Ia serupa bagian dari sirkulasi hidup kota besar itu sendiri. Music yang nyaman belaka didengarkan dalam perjalanan menuju kantor atau sepulangnya, music yang dapat disandari ketika orang-orang kota keletihan di jam istirahat kerjanya. Kira-kira boleh pula dikatakan pop urbanlah yang menjaga kewarasan orang-orang metropolis di bawah gencetan industry niaga kota, ia mengingatkan bahwa meski hidup di kota menuntut kerja super keras, jangan lupa untuk jatuh cinta dan menikmati cinta itu sendiri, sambil menari. Seperti lirik lagu “Puncak Asmara” yang dinyanyikan Utha Likumahuwa ini:
Seaakan ombak yang marak goyangannya
Seperti api membara nyala tubuhnya
Oh apakah dayaku
Tak lama pun kujatuh
Di dalam keramaian suasana
Ke puncak asmara
Seakan diriku terbawa
Setiap langkah semakin mendekati puncak asmara
Cita rasa pop urban juga dapat dirasakan dengan khusyu melalui lagu-lagu January Christy. Suara Christy yang serak-serak basah dipadu dengan musik fussion jazz dengan sedikit sentuhan funk menghasilkan irama musik groovey yang seksi. Pada album “Melayang”, Christy menyanyikan lagu-lagu yang mewakili musik perkotaan dengan paripurna. Pada nomor lagu yang berjudul “Melayang” ia mengartikulasikan kegamangan impian dan angan metropolis yang membubung dan berujung pada entah.
Gerak suaramu
Yang tak tentu arah
Tak tahu apa yang kau cari
Semua tak pasti
Melayang
Pikiranmu melayang
Melayang
Khayalanmu melayang
Jauh….
Terbawa asap nirwana

Pop urban yang tak segan menerapkan bunyi-bunyi unik yang centil dalam aransemennya, menunjukkan bahwa pop urban adalah memang ada sebagai musik perkotaan yang terbuka dengan perubahan. “Barcelona” nomor lagu andalan Fariz RM yang nyaris wajib dimainkan di tiap penampilannya bersama “Sakura”, menerapkan bunyi gitar flamenco dan desik kocokan maracas khas Eropa Latin dilebur dengan petikan gitar listrik, betotan bas perkusif dan bunyi tuts piano yang elegan, juga isian elektone dan gebukan drum yang mengatur ritme lagu dengan santai, sungguh merangsang pendengarnya untuk bergoyang. Kekayaan dan keterbukaan atas gagasan-gagasan musik di seluruh dunia adalah identitas pop urban dan di saat yang sama, masyarakat kota juga dituntut memiliki identitas yang serupa, terbuka dan kaya akan gagasan-gagasan global.
Selain progesifitas, lagu “Barcelona” juga membuktikan bahwa Fariz RM adalah musisi yang brilian. Lagu yang ditulis ketika ia melancong ke Barcelona ini dikerjakan dalam studio imajinasi di dalam kepala Fariz yang kala itu sedang dihujani inspirasi namun tak membawa alat musik satupun. Dan siapa sangka, “Barcelona” menjadi musik pop yang kaya musikalitas dan dirayakan banyak orang ketika dirilis pada 1990, ketenarannya dapat disejajarkan dengan “Sakura” yang dirilis pada 1980.
Kekayaan materi musik pop urban juga dapat dilihat pada album Hotel San Vicente yang digagas oleh kelompok musik Transs pada 1981. Band dengan sentuhan fussion ini terdiri dari Fariz RM (vokal, kibor), Erwin Gutawa (bass), Uce Hudioro (drum), Jundi Karjadi (kibor), Eddy Harris (kibor), Hafil Perdanakusumah (flute, vokal), Wibi AK (perkusi), Dhandung SSS (vokal), dan penyanyi pembantu Wiwiek Lismani (vokal). Sulit untuk tidak, minimal, mengangguk-anggukkan kepala atau mengetuk kaki ketika mendengarkan aransemen di lagu-lagu dalam album tersebut. Hotel San Vicente adalah album yang lekat dengan modernitas. Suara elektronik yang bersalingsilang dalam lagu-lagu di album tersebut menciptakan keriaan dalam balutan teknologi.

Bagaimanapun, pop urban adalah musik yang inheren dengan kehidupan metropolis itu sendiri. Ketika sudah tak ada lagi yang dapat mengartikulasikan kelindan perasaan orang-orang yang hidup dalam kecepatan dan gencetan peradaban kota modern yang tanpa ampun itu, maka lagulah yang akan mengucapkannya. Pop urban adalah keluh kesah, impian jauh, dan karib bagi orang-orang kota, musik hiburan yang dirayakan dalam tari dan dansa, dalam angguk irama juga dalam keputusasaan di balik kepul asap rokok, kenikmatan kecil di antara serbuan tuntutan serba cepat arus zaman, dan suara antusiasme dan obsesi kota atas gegap gempita kemajuan dalam atmosfer letih kerja kota yang, bagaimanapun juga, layak dirayakan.
Jakarta City Pop Radio
https://www.youtube.com/watch?v=5cj9kDKPmBo