[Vinyl] Orkes Angklung Padeang

0

Angklung Padaeng SMAN 1 Bandung

Salah satu koleksi unik MMI adalah piringan hitam berjudul ringkas Angklung. Dibawakan oleh SMAN 1 Bandung pimpinan Sanu’i Idea S. Album dibuat di Lokananta tanpa penjelasan tahun produksi. Diperkirakan produksi tahun 1971 atau sebelumnya. Jadi umurnya sudah 1/2 abad atau lebih.

Group ini adalah binaan dari Padaeng yang disebut sebagai Bapak Angklung. Siapakah bapak angklung ini?
[5:25 PM, 8/23/2021] Pak Hengki MMI: Biography
Padaeng atau Daeng Soetigna awalnya adalah seorang guru dan menamatkan Sekolah Guru pada tahun 1928 lalu melanjutkan Sekolah Musik di Jakarta, terus ke Australia dan lulus tahun 1955. Minatnya terhadap angklung tumbuh dan berkembang sejak masuk ke Sekolah Musik. Diinsyafinya betul-betul bahwa angklung yang sudah ada sejak abad XVII hampir lenyap. Maka berkat bakat serta kesenangannya, disertai hasrat yang besar untuk menghidupkan kembali angklung, dibuatlah angklung diatonis dan berhasil dimainkan dalam suatu Rally Kepanduan di Bandung.

Setelah mengukir beberapa prestasi lainnya, Padaeng memperoleh sebutan sebagai Bapak Angklung dan memperoleh kepercayaan Istana sehingga selalu siap dengan rombongan angklungnya untuk mengisi acara-acara resmi kenegaraan. Rombongan atau kelompok angklung ini kemudian diberi nama Angklung Padaeng.

Salah satu kader dari Angklung Padaeng adalah Sanu’I Edia S, seorang guru di Bandung yang memimpin Orkes Angklung Padaeng SMA Negeri 1 Bandung.

About Album

Album ini berisi delapan buah lagu, lima lagu mempergunakan judul Bahasa Indonesia dan 3 lagu dengan judul Bahasa Belanda. Hanya ada dua lagu yang dilengkapi dengan vocal dari penyanyi Toersini dan Etty Handa. Enam lagu lainnya dimainkan secara instrumentalia dengan mempergunakan angklung yang merupakan instrument musik dari Jawa Barat.

Rekaman berupa piringan hitam (vinyl) berukuran 10” atau sekitar 25 cm ini dibuat atas prakarsa Pemerintah Daerah Jawa Barat. Produksi dilakukan oleh Lokananta di Surakarta dengan nomor seri DN 009. Peredaran pertama rekaman ini diperkirakan sebelum tahun 1971.

Story

Angklung adalah instrumen musik tradisional dari Jawa Barat. Angklung terbuat dari bilah-bilah bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga saat digetarkan atau digoyangkan menghasilkan bunyi yang khas. Untuk mendapatkan nada yang harmonis, angklung harus dimainkan oleh banyak orang. Sebab satu angklung hanya mewakili satu tangga nada saja.

Angklung termasuk salah satu pesona budaya Indonesia yang menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. Terlebih, UNESCO telah mengakui angklung sebagai Warisan Budaya Dunia, dan masuk dalam daftar Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity.

Salah satu destinasi pariwisata Indonesia yang menjadikan angklung sebagai sebagai daya tariknya adalah Sanggar Seni Saung Mang Udjo di Bandung. Mang Udjo tidak sendirian. Sejak tahun 1938, Daeng Soetigna mengembangkan angklung diatonis. Karya ini dianggap merupakan pendrobrak tradisi, sebab alat musik angklung yang mulanya menggunakan tangga nada pentatonis diubah menjadi diatonis.

Angklung yang bernada pentatonis hanya mampu memainkan lima nada, sehingga biasa digunakan untuk memainkan alunan musik Sunda maupun Jawa. Setelah diubah jadi diatonis, angklung jadi memiiki tujuh nada yang berjarak satu dan setengah nada atau yang biasa dikenal dengan do-re-mi-fa-so-la-si-do. Dengan temuan Pak Daeng inilah, angklung jadi bisa digunakan untuk memainkan berbagai macam lagu, hingga ke lagu-lagu mancanegara.

Setahun setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 11 November 1946, waktu diadakan Perundingan Linggarjati di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Daeng Soetigna medapat kepercayaan Presiden untuk menyelenggarakan pertunjukan angklungnya. Dua belas hari kemudian pementasannya berulang lagi, kali ini di Istana Negara dalam acara resepsi sehubungan dengan penarikan tentara Inggris dan India dari Indonesia.

Sebagi guru, karier Padaen terus berlanjut. Tahun 1956 saat pulang dari Negeri Kangguru, beliau diangkat menjadi konsultan pengajaran seni suara di sekolah-sekolah di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Balige, dan Ambon. Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat di tahun 1957 dilanjutkan dengan jabatan sebagai Kepala Konservatori Karawitan Bandung.

Kemudian, di tahun 1964, Pak Daeng menjalani masa pensiun dari pegawai negeri sipil.
Daeng Soetigna lahir di Garut pada tanggal 13 Mei 1908 dan meninggal tahun 1983 di Bandung pada usia 75 tahun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here