YOGYAKARTA
Type of Collection | : Cassette |
Artist/Group | : Nyi Tjondrolukito/Karawitan Ngesthi Budoyo |
Album Title | : Aneka Palaran |
Origin | : Yogyakarta |
Language | : Java |
Year of Release | : 1993 |
Label | : Fajar |
Serial Number | : 704 |
Contributor | : Museum Musik Indonesia |
Reference Link:
Tracklist
No | Song Title |
SIDE A | |
1 | Palaran Pangkur, Palaran Kinanthi, Palaran Asmaradana SI. Myr |
2 | Sri Katon Mataraman kalajengaken Palaran Durmo Pl. Br |
SIDE B | |
1 | Palaran Mijil, Palaran Sinom, Palaran Asmaradana SI. Myr |
2 | Palaran Dandanggula, Palaran Durmo SI.Myr |
NYI TJONDROLUKITO
Nyi Tjondrolukito is a sindhen legend (Female Javanese Singer) who is still remembered as a great artist. Born in Sindhuati, Malti, Sleman, Jogjakarta 20th April 1920. Born with the name Turah, this woman from Dusun Pogung began practicing her vocal and dance in Dalem Danurejan at the age 12. After being appointed as a palace artist, she was given the name Padhasih by Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Her distinctive, fragrant voice, with the richness of “wangsalan” or strings of songs in karawitan, made this figure so famous, even since the days of the Dutch East Indies. She is the wife of Ki Tjondrolukito, a courtier of the Yogyakarta Palace who not only teaches her tunes but also reads and writes because Nyi Tjondrolukito herself never went to school.
Nyi Tjondrolukito’s musical works are Yogyakarta’s uyon-uyon or “Mataraman”. Her famous and legendary works are the gending “Kutut Manggung” and “Jineman Uler Kambang”, which are still used for role models for all pesindhen, especially in wayang kulit performances (Javanese Shadow Puppets Arts).
Nyi Tjondrolukito’s chant always chooses verse that contains advice. Be it advice to respect your parents, to seek knowledge, to serve the country and to love others. Nyi Tjondrolukito is known to often innovate and drift away from the classic rules, so apart from being popular, she is also considered controversial.
The legend of 20th century Javanese art died in Jakarta in November 1997 at the age of 77 years. No less than 200 songs she created during her lifetime. To commemorate her services and work in advancing the world of Indonesian Sindhen, Sleman Regency government immortalized her name as a street name, Nyi Condrolukito Street to replace the name Monumen Jogja Kembali Street.
ANEKA PALARAN
The term Palaran (used in Surakarta area) and Rambangan (used in Yogyakarta area) is a form of Javanese karawitan performance in form of solo vocal performance (both by male and female singers) taken from Tembang Macapat (Javanese Traditional Poetry). Palaran is usually sung by a swarawati or wiraswara with orderly tempo alongside a song or gamelan performance. There are eleven levels of Palaran; Mas Kumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dandang Gula, Durma, Pangkur, Megatruh and Pocung in which six of them are listed in this recording. Tembang Macapat already existed before Majapahit Kingdom is established, Tembang Macapat is used as spread religious teachings to the public aiming to give advice and provide an understanding of life. Teaching people how to be a virtuous individual and how to respect others.
Palaran Mijil
Nature of the song in Tembang Macapat is usually called “Watak” or character. Character of a song will affect listener’s emotion and those who sing the song. The following is an example of characters found in Palaran Mijil.
Mijil means “first”. Linguistically, mijil means “to appear” and often interpreted as one’s “birth”. Some opinions stated that mijil means the physical birth of a baby from its mother’s womb. Others said that mijil is a term used for someone who wants to amend themselves, in other words, rebirth.
From those interpretations, we can conclude that humans are inherently weak, so they need guidance, advice and protection. Palaran Mijil came up as the solution for these problems. Javanese people believe that the song has the meaning of values and ethics that can be used as life guidance. The characters in it are compassion, care, love, hope, strength and fortitude in living life.
Palaran Pangkur
Pangkur means “mungkur” or “backward”. In its terminology, pangkur means young person who needs an influence in order to get close to God. This song illustrates humans have their phases, one of them is when they took a step back from worldly affairs to focus on
spiritual affairs.
Philosophy behind this is that human will slowly realize some of their organs is getting weaker, and maybe not even functioning anymore. In that moment, they try to be a better person from what they used to be by getting closer to God. In other words, pangkur is an illustration of someone who is ready to carry out the obligation to get closer to God and leave the worldly nature.
Benefit
As the time goes, Tembang Macapat created based on its writer’s creativity so that their purposes extended:
- To accompany traditional ceremonies
- To repel bad luck
- As a media for spreading religion and give advice
- As a complement for Javanese traditional art performances
- As a study subject in schools
Value
Palaran, consisting of eleven levels, is basically a series of human values from their birth to death. An ancient Javanese philosophical teaching conveyed through songs to make it easier for the public to understand. It includes what and who humans are, how humans should behave and what is the real purpose of human life based on faith, obedience, sincerity and being able to maintain harmony with nature.
(Writer: Ratna Sakti Wulandari-Museum Musik Indonesia)
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
NYI TJONDROLUKITO
Nyi Tjondrolukito adalah legenda pesindhen yang sampai sekarang masih dikenang sebagai seniwati besar. Lahir di Sindhuati, Malti, Sleman, Jogjakarta 20 April 1920. Terlahir dengan nama Turah, wanita asal Dusun Pogung ini mulai berlatih olah vocal dan menari di Dalem Danurejan pada usia 12 tahun. Setelah diangkat sebagai seniman kraton, ia diberi nama Padhasih oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Suaranya yang khas, harum, dengan kekayaan “wangsalan” atau untaian tembang dalam karawitan, membuat sosok ini begitu terkenal, bahkan sejak zaman Hindia Belanda. Ia isteri Ki Tjondrolukito, seorang abdi dalem Keraton Jogja yang tak hanya mengajar nada-nada kepada isterinya tetapi juga membaca dan menulis karena Nyi Tjondrolukito sendiri tak pernah sekolah.
Karya-karya Nyi Tjondrolukito adalah uyon-uyon khas Yogyakarta atau “Mataraman”. Karya ciptanya yang terkenal dan menjadi legendaris adalah gending “Kutut Manggung” dan “Jineman Uler Kambang”, yang sampai sekarang ini masih menjadi panutan semua pesindhen, terutama dalam pagelaran wayang kulit.
Lantunan sindhenan Nyi Tjondrolukito selalu memilih syair yang berisi petuah atau nasehat. Baik itu nasehat untuk menghormati ibu bapak, menuntut ilmu, berbakti kepada negara maupun untuk mecintai sesama. Nyi Tjondrolukito dikenal sering berinovasi dan keluar dari pakem-pakem klasik, sehingga selain populer ia juga dianggap kontroversial.
Sang legenda kesenian Jawa abad ke-20 ini meninggal di Jakarta pada November 1997 di usia 77 tahun. Tak kurang dari 200 tembang sudah ia ciptakan semasa hidupnya. Untuk mengenang jasa dan kiprahnya memajukan dunia sinden Indonesia, pemerintah Kabupaten Sleman pun mengabadikan namanya menjadi nama jalan. Jalan Nyi Condrolukito untuk mengganti nama Jalan Monumen Jogja Kembali.
ANEKA PALARAN
Istilah Palaran (untuk Surakarta) dan Rambangan (untuk Yogyakarta) adalah salah satu bentuk sajian dalam karawitan Jawa yang berupa sajian vokal tunggal (baik pria maupun wanita) yang diambil dari Tembang Macapat. Palaran biasanya dilagukan oleh seorang swarawati atau wiraswara dengan tempo teratur dan dibarengi sajian lagu maupun rangkaian suara gamelan. Sebagai pengetahuan, terdapat sebelas tingkatan Palaran, yaitu Mas Kumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dandang Gula, Durma, Pangkur, Megatruh dan Pocung. Enam di antaranya disajikan dalam rekaman ini. Tembang Macapat sudah ada sebelum Kerajaan Majapahit. Digunakan sebagai media dakwah kepada masyarakat yang bertujuan untuk menasihati dan memberi pemahaman hidup. Menjadikan manusia sebagai pribadi yang berbudi luhur, serta dapat menghormati sesama. Berikut akan diuraikan untuk Mijil dan Pangkur.
Palaran Mijil
Sifat atau karakter dari lagu dalam tembang macapat disebut dengan watak. Watak suatu tembang akan mempengaruhi emosi pendengar maupun yang melantunkan tembang tersebut. Berikut ini salah satu contoh watak yang terdapat dalam Palaran Mijil.
Makna kata mijil adalah yang pertama. Secara bahasa, kata mijil berarti muncul atau tampil dan ditafsirkan dengan arti sebuah kelahiran. Sebagian pendapat mengatakan bahwa arti tersebut merupakan kelahiran fisik dari seorang bayi dari rahim ibunya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa arti mijil merupakan sebuah kelahiran dari seseorang yang muncul ketika orang tersebut ingin menjadi baik. Dapat dikatakan sebagai kelahiran kembali.
Kedua arti tersebut mengandung makna bahwa manusia pada hakekatnya memiliki sifat yang lemah. Sehingga keduanya sangat membutuhkan nasehat, arahan serta perlindungan. Dari hal ini, maka munculah Tembang Mijil sebagai solusinya. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa tembang tersebut memiliki makna tata nilai dan etika yang dapat digunakan sebagai tuntunan hidup. Watak-watak yang terdapat di dalamnya adalah rasa belas kasih, perhatian, cinta, pengharapan, kekuatan dan ketabahan dalam menjalani hidup.
Palaran Pangkur
Pangkur artinya “mungkur” atau “mundur”. Sedangkan secara istilah, kata pangkur diartikan sebagai orang yang usianya muda dan perlu pengaruh besar dalam proses mendekatkan diri kepada Tuhannya. Tembang ini memberi gambaran bahwa, manusia memiliki fase dalam kehidupannya, yaitu saat-saat dimana dia akan mundur dari kehidupan ragawi, kemudian beralih ke kehidupan spiritual atau kehidupan jiwa.
Filosofinya adalah bahwa manusia secara perlahan akan menyadari bahwa sebagian dari organnya sudah mulai rapuh, bahkan bisa jadi sudah tidak berfungsi lagi. Sehingga ia menjadi baik dari kejahatan masa lalunya yang buruk dan berubah untuk memilih jalan yang baik dengan berusaha mendekat pada Tuhan. Dalam artian lain, pangkur merupakan gambaran seseorang yang mulai siap melakukan kewajiban mendekatkan diri kepada Tuhannya dan meninggalkan sifat duniawi.
Manfaat
Seiring dengan perkembangan zaman, jenis tembang macapat banyak dikreasikan berdasarkan kreatifitas pencipta lagu sehingga fungsinya berkembang:
- Sebagai pengiring upacara adat
- Sebagai mantra menolak bala
- Sebagai sarana dakwah dan nasihat
- Sebagai pengiring pementasan seni tradisional Jawa
- Sebagai materi pendidikan di sekolah
Value
Palaran yang terdiri dari sebelas tingkatan pada dasarnya merupakan rangkaian nilai-nilai kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggal. Sebuah ajaran falsafah Jawa kuno yang disampaikan melalui tembang atau lagu agar lebih mudah difahami masyarakat. Mencakup apa dan siapa manusia, bagaimana hendaknya manusia berperilaku dan apa sebenarnya tujuan hidup manusia yang didasari keimana, kepatuhan, kesungguhan dan mampu menjaga keselarasan dengan alam.
(Writer: Ratna Sakti Wulandari-Museum Musik Indonesia)