TABONEO – IRAMA DAERAH KALIMANTAN

0

SOUTH KALIMANTAN

Type of Collection: Long Play
Artist/Group: Taboneo
Album Title: Irama Daerah Kalimantan (Kalimantan folk Music)
Origin: South Kalimantan
Language: Melayu Banjar
Year of Release: No Data
Label: Lokananta
Serial Number: ARI – 089
Contributor: Museum Musik Indonesia

Reference Link: https://artilagumu.wordpress.com/2013/06/11/asal-usul-lagu-ampar-ampar-pisang/

Tracklist

NoSong TitleSongwriterLead Vocal
 SIDE A  
1Buntju AmpatA.ZainiBaturai Njanji
2DandingA.SultanA.Sultan dkk
3RambangJ.KoesnoenBaturai Njanji
4Siapa Ampun LaranganA.ZainiBachtiar Effendy dkk
    
 SIDE B  
1Ampar-ampar PisangA.ZainiBaturai Njanji
2Manuntut DjandjiUsman. SAmchas dkk
3BulihiA.ZainiBaturai Njanji
4Harap-harapanJ.KoesnoenA.Zaini dkk

About Artist

Taboneo Orchestra is a group from South Kalimantan led by Usman. Their song, which is very well known until now, is the song called Ampar-ampar Pisang, created by A. Zaini. This song was performed by Baturai Dunjuk and recorded on vinyl by Lokananta Records Solo. But unfortunately, the author could not find information when this group was formed.

About Album

The history of the creation of one of the songs in this album, entitled Ampar-Ampar Pisang, is inspired by the people of South Kalimantan when making a cake/food made from bananas. This food is called rimpi. The way to make this food is to arrange the bananas (ampar) and then leave them until they are almost ripe and close to rotting. After that, the bananas are dried in the sun until the bananas harden and emit a very distinctive sweet smell. So, the content of the song ampar-ampar pisang is about bananas being arranged and surrounded by small flying animals that enjoy the smell of bananas (known to the people of Kalimantan as bari-bari). At the end of the song, it is told about an animal that was feared by small children in the past (see the word “dikitip bidawang” which means to be bitten by a monitor lizard). It is said that the word dikitip bidawang is used to scare children who like to steal bananas/rimpi cakes that are still in the drying process.

Story

In the 1960s, NGAK NGIK NGOK was a popular term in the Indonesian national press. This term came from the President of the Republic of Indonesia Bung Karno in his State of the Union address through the Manipol Usdek. At that time Bung Karno stated that Indonesian youth must be anti-imperialist – colonialism. What is meant by the term Ngak Ngik Ngok is what is called a “western song”. Because “Ngak Ngik Ngok” is considered not in accordance with the personality of the Indonesian nation. Inevitably this statement invites the attention of intellectuals. A year after that speech, on August 13-16, 1960, for the efforts of Pangdam VII Diponegoro, a national personality meeting was held in Salatiga.

The first idea is to try to present an old song into a rock dish. The must-see here is of course Oslan Hussein. With his band that has changed its name, he sings the song Bengawan Solo with a typical 12 bar rock interlude and vocals that sound like Elvis Presley’s voice. The second idea is to explore folk songs with new dishes, rock or cha cha cha. From this second idea, there was the Gumarang Sakti Orchestra with Nurseha who sang the song Ayam den lapeh. Gumarang’s performance, which is promiscuous, has encouraged other regions to perform with their folk songs. From Tapanuli came the band Dolok Marimbang which presented the songs Sing Sing So and Butet. Soon famous a soloist from this circle, named Mathilda Silalahi.

Then came Taboneo who sang Banjar songs, from them known the song Ampar ampar Pisang. Ambonese and Makassarese are also not left behind. From Surabaya emerged Bhineka Ria with Didi Pattirani and the song he proposed, entitled Sarinande from Maluku, sung by Bob Tutupoly. From Ujungpandang comes Lenny Beslar, Sangir’s son who popularized the song Anging Mamiri. In contrast to others who explore old songs, from Java, Kris Biantoro in his Javanese language presents his own song entitled Dondong Opo Salak.

And almost all the songs that emerged from the singers and regional orchestras mentioned above were recorded by the Lokananta record company in Solo.

Lokananta

Lokananta Records is an inseparable part of the history of music in Indonesia. Lokananta can be called the “big museum” of Indonesian music. Among the 5,600 recorded songs, there are master recordings of Minang, Batak, Malay, Maluku, South Sumatran songs, to Makassar. The song recorded in 1957-1960’s can still be enjoyed clearly. Banjar Malay songs, such as “Ampar-ampar Pisang” from the Taboneo Orchestra, the song “Paris Barantai” from the Rindang Banua Orchestra as well as Minang songs “Sansaro Badan” and “Baju Kuruang” from the Gumarang Orchestra are only a small part of the folk songs that have ever been played. famous throughout the country and to this day is stored well in Perum Lokananta, a record company founded by the Government of the Republic of Indonesia in 1955 in Solo, Central Java.

Value

Taboneo Orchestra is part of the history of the Indonesian nation. Not only as part of the history of the development of music in Indonesia but the Taboneo Orchestra is also part of the history of this country’s political journey.

(Writer: Ratna Sakti Wulandari-Museum Musik Indonesia)

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 

About Artist

Orkes Taboneo adalah grup yang berasal dari Kalimantan Selatan pimpinan Usman. Lagu mereka yang sangat terkenal hingga saat ini adalah lagu yang berjudul Ampar-ampar Pisang ciptaan A. Zaini. Lagu ini dibawakan oleh Baturai Djanji dan direkam dalam bentuk vynil oleh Lokananta Records Solo. Namun sayang sekali penulis tidak dapat menemukan informasi kapan grup ini terbentuk.

About Album

Sejarah terciptanya salah satu lagu dalam album ini yang berjudul Ampar-Ampar Pisang, adalah terinspirasi dari masyarakat Kalimantan Selatan saat membuat sebuah kue/makanan yang terbuat dari pisang. Makanan ini bernama rimpi. Cara membuat makanan ini adalah dengan cara pisang di diampar (disusun) kemudian dibiarkan hingga hampir matang mendekati busuk. Setelah itu pisang dijemur di bawah sinar matahari sampai kira-kira pisang mengeras dan mengeluarkan bau manis yang sangat khas. Jadi isi lagu ampar-ampar pisang adalah menceritakan tentang pisang yang diampar dan dikerubuti binatang kecil-kecil yang bisa terbang yang senang dengan aroma pisang (dikenal masyarakat Kalimantan dengan nama bari-bari). Pada akhir lagu di ceritakan tentang binatang yang ditakuti anak kecil zaman dulu (lihat kata “dikitip bidawang” yang artinya digigit biawak). Konon, kata dikitip bidawang itu digunakan untuk menakuti anak-anak yang suka mencuri pisang/kue rimpi yang masih dalam proses penjemuran.

Story

Di tahun 1960an, NGAK NGIK NGOK merupakan istilah yang populer di media pers nasional Indonesia. Istilah ini berasal dari Presiden Republik Indonesia Bung Karno dalam pidato kenegaraannya melalui Manipol Usdek. Saat itu Bung Karno menyatakan bahwa pemuda Indonesia haruslah anti imperialisme – kolonialisme. Yang dimaksud dengan istilah Ngak Ngik Ngok adalah apa yang disebut “lagu barat”. Karena “Ngak Ngik Ngok” dianggap tak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mau tak mau pernyataan ini mengundang perhatian para intelektual. Setahun setelah pidato itu, tepatnya pada 13-16 Agustus 1960, atas usaha Pangdam VII Diponegoro dilangsungkan musyawarah kepribadian nasional di Salatiga.

Gagasan pertama adalah mencoba menyajikan lagu lama ke dalam sajian rock. Yang harus dilihat disini tentulah Oslan Hussein. Dengan band-nya yang sudah berganti nama, ia menyanyikan lagu Bengawan Solo dengan interlude khas rock 12 bar dan vokal yang ber-he he he seperti suara Elvis Presley. Gagasan kedua adalah dengan menggali lagu-lagu daerah dengan sajian baru, rock atau cha cha cha. Dari gagasan kedua ini, hadirlah Orkes Gumarang Sakti dengan Nurseha yang menyanyikan lagu Ayam den lapeh. Penampilan Gumarang yang ber-minang-minang ini mendorong daerah-daerah lain untuk tampil dengan lagu rakyatnya. Dari Tapanuli muncul Band Dolok Martimbang yang menyajikan lagu Sing sing So dan Butet. Segera terkenal seorang solois dari kalangan ini, bernama Mathilda Silalahi.

Kemudian muncul Taboneo yang menyanyikan lagu-lagu Banjar, dari mereka dikenal lagu Ampar ampar Pisang. Orang Ambon dan Makassar juga tak ketinggalan. Dari Surabaya muncul Bhineka Ria dengan Didi Pattirani dan lagu yang diajukannya berjudul Sarinande berasal dari Maluku, dinyanyikan Bob Tutupoly. Dari Ujungpandang hadir Lenny Beslar, anak Sangir yang mempopulerkan lagu Anging Mamiri. Berbeda dengan yang lain yang menggali lagu-lagu lama, maka dari Jawa Kris Biantoro dengan bahasa Jawa-nya menyajikan lagu ciptaannya sendiri berjudul Dondong Opo Salak.

Dan hampir semua karya lagu yang muncul dari penyanyi-penyanyi dan orkes-orkes daerah tersebut diatas direkam oleh perusahaan rekaman Lokananta di Solo.

Lokananta

Lokananta Records merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah musik di Indonesia. Lokananta boleh disebut sebagai ”museum besar” musik Indonesia. Di antara 5.600 lagu rekamannya, tersimpan master rekaman lagu Minang, Batak, Melayu, Maluku, Sumatera Selatan, sampai Makassar. Lagu rekaman tahun 1957-1960-an itu masih bisa dinikmati dengan jernih. Lagu Melayu Banjar, seperti ”Ampar-ampar Pisang” dari Orkes Taboneo, lagu ”Paris Barantai” dari Orkes Rindang Banua serta  lagu berbahasa Minang ”Sansaro Badan” dan ”Baju Kuruang” dari Orkes Gumarang hanyalah sebagian kecil dari lagu-lagu daerah yang pernah terkenal di seantero negeri dan sampai hari ini tersimpan dengan baik di Perum Lokananta, perusahaan rekaman yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 1955 di Solo Jawa Tengah.

Value

Orkes Taboneo merupakan bagian dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tidak hanya sebagai bagian sejarah perkembangan musik di Indonesia tetapi Orkes Taboneo juga merupakan bagian dari sejarah perjalanan politik negeri ini.

(Writer: Ratna Sakti Wulandari-Museum Musik Indonesia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here