Reso Mulyo – Jaranan

0

EAST JAVA

Type of Collection: Cassette
Artist/Group: Reso Mulyo
Album Title: Jaranan
Origin: East Java, Banyuwangi
Language: Osing
Year of Release: No Data
Label: RIA Record
Serial Number: R 249
Contributor: Museum Musik Indonesia, Malang – 2019

Reference Links:

Tracklist

NoSong TitleWriter
 SIDE A 
1Jaranan part 1NN
 SIDE B 
1Jaranan part 2NN

About Artist

The Jaranan Reso Mulyo Group is the one of the jaranan arts groups that grew up in Banyuwangi. Coming from the village of Genteng Wetan, which is located in the south- central area, to be exact, approximately 50km from the administrative center of the Banyuwangi district, East Java. Like most local art groups, the group chaired by Mr. Sainan is unknown when it start to form. Meanwhile, Mr. Alzin acts as the leader who manages the performance of this group as a whole.

About Album

Jaranan Album Vol. 1 contains a song which is a musical accompaniment to the Jaranan Banyuwangi dance. Recorded at RIA Recording Studio , a recording studio from Banyuwangi City.

Story

Banyuwangi Regency is a regency in East Java which is geographically located at coordinates 7º 45’ 15” – 80 43’ 2” south latitude and 113º 38’ 10” east longtitude. The culture of Banyuwangi people is a meeting of varioustypes of cultures from various regions. Namely Javanese, Balinese, Madurese, Malay, European and local cultures, eventually becoming typical ones that are not found in any region on the island of Java. Banyuwangi has a unique diversity of arts and traditions, one of which is jaranan arts. Another very famous art from Banyuwangi is Gandrung Banyuwangi.

Jaranan art is one of the traditional art forms that has spread in almost every area in Java. Likewise in Banyuwangi, which has jaranan art, namely Jaranan Butho. Jaranan Butho Art is said to be one of the oldest original arts in Banyuwangi.

Jaranan Butho arts is known to come from the village of Cemetuk, Cluring District, Banyuwangi Regency, which is located on the border with the Gambiran sub-district. Most of the Gambiran people still have Javanese lineage from the Mataram breed. This situation made the people of Cemetuk hamlet get a lot of influences, Jaranan Butho art was born as a very unique form of cultural acculturation, which combines the Osing Culture (Banyuwangi tribe) with Mataraman Javanese Culture. The term Jaranan Butho adopted the name of a legendary East Javanese folklore character named Minakjinggo. There is an assumption that Minakjinggo is not a human head, but a giant head which in Javanese is called Butho.

Jaranan Butho art is usually played by 16-20 people who are gathered in 8 groups. Usually staged from 10 am to 4 pm. The most prominent characteristic is the main property in the form of a horse replica (side section) in the form of a giant face horse or Buto. Made of buffalo skin which is painted with a giant face dominated by bright red color, with big bulging eyes. In fact, not only the horse, the players also use make-up like a giant. In such a way they make up their faces to look like giants with red faces, big aye, sharp teeth, long hair and dreadlocks.

The use of property in the form of horse replicas in this art is not without purpose. The philosophical value in this case is the horse as a symbol of the spirit of struggle, the attitude of chivalry and the element of tireless hard work in every condition. The make-up of the players consists of a combination of three colors, namely red, black and white. Each color has its own meaning. The black colour symbolizes persistence, how warrior soldiers must have a strong soul. Red is the symbol of the spirit of unyielding and the spirit of courage, as well as meaningful white purity and clarity of heart.

The musical instrument of Jaranan Bhuto consists of a set of gamelan. Consists of 2 bonang (percussion music), 2 gongs, sompret (flute), kecer (shape like aglass cover made of copper plates) and 2 kendangs.

At the peak of the show always presents amazing art attractions, where usually the butho jaranana dancers experience a trance. The magicalaction of this trance became the main attraction for the visitors who witnessed it. The possessed dancer becomes unconscious and will chase the person who teases him with a whistle. In addition, the dancer who is in a trance is able to eat glass, fire, live chickens by eating his head to death and so on.There is a handler who is responsible for the dancers or spectators who are in atrance. He is in charge of helping to revive the jaranan butho deancer and the audience who are in a trance.

Value

Jaranan butho art is one of the unique arts that must be prseserved, maintained and shown to the outside wolrd. So that this potensial can be useful both as a form of cultural preservation and as an economic driver for the community.

Luckily, in the midst of many areas that are in crisis for cultural conservationists, it is precisely in Banyuwangi that the regeneration process for art performers is going quite well. One of them is the holding of an annual Banyuwangi cultural event in the form of the Jaranan Butho Festival.

(Writer: Ratna Sakti Wulandari-Museum Musik Indonesia)

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 

About Artist

Kelompok Jaranan Reso Mulyo merupakan salah satu kelompok kesenian tradisional jaranan yang tumbuh di Banyuwangi. Berasal dari desa Genteng Wetan yang terletak di wilayah tengah-selatan, tepatnya kurang lebih 50 km dari pusat pemerintahan kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Seperti umumnya kelompok kesenian lokal daerah, grup yang diketuai P. Sainan ini tidak diketahui kapan mulai terbentuknya. Sedangkan P. Alzin bertindak selaku pimpinan yang mengatur performa grup ini secara keseluruhan.

About Album

Album Jaranan Vol. 1 berisi sebuah lagu yang merupakan musik pengiring tari Jaranan Banyuwangi. Direkam di Studio RIA Recording, sebuah studio rekaman yang berasal dari Banyuwangi.

Story

Kabupaten Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di ujung timur pulau Jawa. Budaya masyarakat Banyuwangi merupakan pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah. Yaitu budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu, Eropa dan budaya lokal, akhirnya menjadi tipikal yang tidak ditemui di wilayah manapun dipulau Jawa.  Banyuwangi memiliki keanekaragaman seni dan adat tradisi yang khas, salah satunya adalah kesenian Jaranan. Kesenian lain yang sangat terkenal dari Banyuwangi adalah Gandrung Banyuwangi.

Kesenian Jaranan adalah salah satu bentuk kesenian tradisional yang telah menyebar hampir di tiap daerah di tanah Jawa. Begitu juga di Banyuwangi yang mempunyai kesenian Jaranan, yaitu Jaranan Butho. Kesenian Jaranan Buto disebut-sebut sebagai salah satu kesenian asli tertua di Banyuwangi.

Kesenian jaranan butho diketahui berasal dari desa Cemetuk Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi yang letaknya berbatasan dengan wilayah kecamatan Gambiran. Masyarakat Gambiran sendiri sebagian besar masih memiliki garis keturunan Jawa trah Mataram. Keadaan tersebut menjadikan masyarakat dusun Cemetuk mendapatkan banyak pengaruh Kebudayaan Masyarakat Jawa Mataraman dari wilayah Gambiran. Dari pengaruh-pengaruh tersebut lahirlah Kesenian Jaranan Butho sebagai bentuk akulturasi budaya yang sangat unik, yaitu memadukan Kebudayaan Osing (Suku asli Banyuwangi) dengan Kebudayaan Jawa Mataraman. Istilah Jaranan Butho mengadopsi nama tokoh cerita rakyat Jawa Timur yang legendaris bernama Minakjinggo. Terdapat anggapan bahwa Minakjinggo itu bukan berkepala manusia, melainkan berkepala raksasa yang mana dalam bahasa jawa disebut Butho.

Kesenian Jaranan Butho biasanya dimainkan oleh 16-20 orang yang dihimpun dalam 8 grup. Biasanya dipentaskan mulai dari pukul 10 pagi hingga pukul 4 sore. Ciri khas yang paling menonjol adalah properti utamanya berupa replika kuda (penampang samping) yang berbentuk kuda berwajah raksasa atau Buto. Terbuat dari kulit kerbau yang dilukis dengan gambar wajah raksasa didominasi warna merah menyala, dengan kedua mata besar yang melotot. Bahkan tidak hanya kudanya saja, para pemainnya juga menggunakan tata rias muka layaknya seorang raksasa. Sedemikian rupa mereka merias wajah agar terlihat seperti raksasa yang bermuka merah, bermata besar, bertaring tajam, berambut panjang dan gimbal.

Pemakaian properti berupa replika kuda dalam kesenian ini bukanlah tanpa maksud. Nilai filosofi dalam hal ini adalah kuda sebagai simbol semangat perjuangan, sikap ksatria dan unsur kerja keras tanpa kenal lelah di dalam setiap kondisi.

Riasan wajah para pemain terdiri dari kombinasi tiga warna, yaitu merah, hitam dan putih. Masing-masing warna punya makna tersendiri. Warna hitam melambangkan keteguhan, bagaimana tentara pejuang harus mempunyai jiwa yang teguh. Merah menjadi simbol dari semangat pantang menyerah dan semangat keberanian, serta putih yang bermakna kesucian dan kejernihan hati.

Instrumen musik Jaranan Buto terdiri atas seperangkat gamelan. Terdiri dari 2 bonang (musik perkusi), 2 gong, sompret (seruling), kecer (berbentuk seperti penutup gelas yang terbuat dari lempengan tembaga), dan 2 kedang.

Pada puncak pertunjukan selalu menghadirkan atraksi-atraksi seni yang mengagumkan, dimana biasanya penari jaranan butho mengalami kesurupan. Aksi magis kesurupan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung yang menyaksikan. Penari yang kesurupan tersebut menjadi tidak sadar dan akan mengejar orang yang menggodanya dengan siulan. Selain itu, penari yang dalam keadaan kesurupan tersebut mampu memakan kaca, api, ayam hidup dengan memakan kepalanya hingga mati dan sebagainya. Terdapat seorang pawang yang bertanggung jawab terhadap penari-penari atau penonton yang ikut kesurupan. Ia bertugas membantu untuk menyadarkan kembali penari jaranan butho serta penonton yang ikut kesurupan.

Value

Kesenian Jaranan Butho merupakan salah satu kesenian unik yang harus dilestarikan, dipelihara dan ditunjukkan kepada dunia luar. Sehingga potensi ini dapat bermanfaat dengan baik sebagai bentuk pelestarian budaya dan sebagai penggerak ekonomi untuk masyarakat.

Beruntung, di tengah banyak daerah yang sedang krisis para pelestari budaya, justru di Banyuwangi ini proses regenerasi pelaku kesenian berjalan dengan cukup baik. Salah satunya adalah terselenggaranya event budaya tahunan Banyuwangi dalam bentuk Festival Jaranan Butho.

(Writer: Ratna Sakti Wulandari-Museum Musik Indonesia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here