10 Maret 2023 group dari Inggris ini akan konser di Solo. Mereka sudah 3 kali manggung di Jakarta pada tahun 1975, 2002 dan 2004.
Saat itu tahun 1975 saya yang masih di SMA ikut bimbingan test di Bandung selama sebulan bersama seorang teman yg namanya Iwan Hartadi. Targetnya ikut UMPT (Ujian Masuk Perguruan Tinggi) dan bisa kuliah di ITB. Tanggal 4 Desember 1975, dengan kereta Parahiyangan, saya dan Iwan berangkat dari Bandung ke Jakarta dan numpang tidur di rumah saudaranya Iwan di sekitar Stasiun Senen.
Berbekal 2 lembar tiket seharga Rp 2.000an, sore harinya dari Pasar Senen kami naik bus PPD jurusan Blok M dan turun di Semanggi. Lanjut jalan kaki menuju Stadion Utama Senayan. Jam 7 malam kami sudah duduk manis di tribun. Ada sekitar 30 ribu orang (mungkin lebih) di dalam stadion yang penasaran pengen nonton Deep Purple. Nama group ini memang lagi top di Indonesia, berita2nya mendominasi berbagai majalah musik, khususnya majalah Aktuil yang terbit di Bandung
Sementara menunggu konser, penonton yang sekelas dengan saya mulai beraksi mencoba merobohkan pagar pembatas dengan yang kelas Rp 3.000an. Mula2 memang gagal karena petugas berdatangan menjaga di dekat pagar. Apalagi mereka membawa pasukan anjing.Tapi akhirnya setelah raungan musik Deep Purple mulai terdengar, penjaga memperbolehkan penonton mencari tempat yang lebih nyaman dengan menerobos pagar besi yang berkawat duri. Semua lampu stadionpun dipadamkan dan mulailah terdengar gebukan drum Ian Paice dalam lagu Burn yang langsung disambut tepuk tangan penonton. Sound dan lightingnya full ciamik. Malam itu Deep Purple banyak membawakan lagu-lagu dari album terbarunya Come Taste The Band yang masih agak asing bagi penonton. Beruntung saya sempat beli kaset bajakannya di Jalan Braga. Di antara ke 5 anggota Deep Purple, menurut saya Glen Hughes-lah yang menonjol. Gaya panggungnya lebih menarik katimbang Tommy Bolin, lead guitaris yang menggantikan posisi Ritchie Blacmore. Surprise yang istimewa bagi penonton terjadi pada saat Jon Lord memainkan solo organ dalam lagu Lazy. Di tengah-tengahnya dia perdengarkan melodi lagu Bagimu Negeri, ciptaan Kusbini yang bikin saya mrinding. Tentu saja penonton memberikan applause yang meriah. Saat lagu terakhir dikumandangkan, yaitu Stormbringer, baru dikeluarkanlah uap buatan dry ice. Deep Purple-pun pamit. Namun penonton ber-teriak2 meminta lagu tambahan. David Coverdale dkk-pun memenuhinya dengan dengan lagu Highway Star.
Sebuah pengalaman istimewa nonton supergroup top di saat itu. Keluar dari Senayan sudah menjelang tengah malam. Bus Kota sudah mulai susah didapat. Akhirnya ketemu yang jurusan Rawamangun, sayapun dengan Iwan naik ke bus itu walau gak kebagian tempat duduk. Dari Rawamangun cari-cari angkot jurusan Senen sudah gak ada. Ketemulah dengan becak. Setelah tawar-menawar, akhirnya kami naik dan sampai Senen sudah menjelang subuh. Luar biasa capeknya.
Sepertinya perlu banyak perjuangan dan pengorbanan untuk bisa menyaksikan Deep Purple ini. Waktu, tenaga, materi sudah pasti. Yang lebih berat lagi, saya dan Iwan tidak bisa mengikuti acara penyerahan ijazah (istilah kerennya wisuda) yang dilakukan di aula SMA 3 Malang. Pukulan paling berat yang saya rasakan adalah tidak lulus test masuk ITB. Sedang Iwan lulus dan masuk jurusan Arsitek. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. (Hengki Herwanto).