
Oleh: Hengki Herwanto
Covid 19 merupakan peristiwa yang menimbulkan dampak besar bagi tatanan kehidupan masyarakat. Museum di seluruh dunia juga terpengaruh oleh kondisi ini. Sejak Maret 2020 banyak museum tutup dan tidak lagi menerima tamu. Berkembanglah konsep kunjungan museum secara virtual yang sebenarnya juga sudah dilakukan oleh beberapa museum lainnya sebelum wabah corona muncul.
Manajemen museum pada umumnya meliburkan karyawannya pada masa pandemi, namun tetap menempatkan petugas untuk menjaga keamanan dan kebersihan. Hal itu juga dilakukan oleh Museum Musik Indonesia (MMI) di Kota Malang dengan menugaskan satu orang untuk tetap bekerja di museum, dan yang lain diharapkan bisa bekerja di rumah masing-masing. Teorinya seperti itu. Ini sesuai petunjuk AMIDA (Asosiasi Museum Daerah) Jawa Timur untuk mencegah meluasnya corona dengan tetap menjaga agar roda-rada museum terus berputar.
Kegiatan di rumah yang bisa dilakukan adalah melihat dan membaca perkembangan dunia melalui gadget. Melalui WA Group AMIDA Jawa Timur kami pernah diberi jalan untuk penggalangan dana museum lewat platform Benih Baik yang dikelola Andy F Noya dan dipromosikan lewat acara Kick Andy di Metro TV. Syukur Alhamdulillah, bisa terhimpun dana sekitar Rp 16 juta. Lewat AMIDA juga, kami bisa bekerjasama dengan Museum House Of Sampoerna menyelenggarakan pameran musik yang sudah berjalan 2 kali selama 2 tahun ini. Memposting koleksi museum di media sosial ternyata juga bisa menstimulir para netizen untuk turut berkontribusi menghibahkan koleksinya ke museum. Tidak saja dari dalam negeri, tetapi juga dari mancanegara.
Mengeksplorasi Koleksi
Di masa pandemi ini, hari demi hari berjalan tanpa ada pengunjung dan nyaris tanpa kegiatan yang signifikan. Museum sepi seperti kuburan. Sekitar seminggu berjalan saya berpikir kondisi “jalan di tempat” ini tak boleh dibiarkan berkepanjangan. Roda-roda museum harus bergerak. Ingin meniru museum yang lain dengan program kunjungan virtual, kami merasa belum mampu. Perlu keahlian, perlu waktu dan mungkin perlu biaya juga.
Timbul dorongan untuk secara fisik kembali hadir di museum menemani petugas yang sehari-hari menjaga keamanan dan kebersihan. Yang saya lakukan sederhana saja, awalnya hanya membersihkan koleksi yang berdebu. Piringan hitam, kaset, CD, buku dan koleksi lainnya walaupun sudah tersimpan dalam lemari atau rak tertutup, tetap tak bebas dari serangan debu. Dari situ saya jadi mengenal lebih dalam barang-barang apa saja yang tersimpan di museum. Banyak koleksi, baik karya rekam maupun karya cetak yang belum terungkap apa nilai lebihnya. Sayapun melakukan pendataan lebih lanjut sampai akhirnya menyadari bahwa koleksi museum merupakan sumber data otentik dari perkembangan atau sejarah seni musik di Indonesia. Semakin terbukti pula betapa beraneka ragam kekayaan budaya yang dimiliki Bangsa Indonesia. Karya-karya berbagai jenis musik yang tersimpan di piringan hitam, pita kaset dan kepingan CD memperlihatkan hal itu. Hal ini didukung pula dengan keberadaan majalah-majalah dan buku-buku yang terkait dengan perkembangan musik di Indonesia. Saya beranggapan koleksi-koleksi tersebut ibaratnya merupakan prasasti atau naskah daun lontar yang berserakan sebagaimana kita mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan nusantara di masa silam.
Sebuah data mungkin tidak terlalu bermanfaat apabila dia berdiri sendiri. Tetapi ribuan data bisa menjadi informasi yang memiliki nilai tinggi apabila diteliti, diolah dan disajikan dengan tepat. Ini yang saya coba lakukan di museum selama masa pandemi. Tujuan awalnya hanya sekedar membuat Laporan Tahunan kepada para pemangku kepentingan yang di dalamnya antara lain berisi data koleksi museum berdasar klasifikasinya serta data penyumbang koleksi dan tamu museum. Bahan baku datanya sudah disiapkan oleh beberapa staf museum menjelang tutup tahun 2019, sehingga saya tinggal mengolahnya saja. Beberapa informasi yang telah dikemas, saya lampirkan dalam tulisan ini.
Proposal Pendanaan
Dari berselancar di dunia maya kita bisa menemukan beberapa penawaran menarik dari berbagai lembaga dalam dan luar negeri yang siap membantu pendanaan untuk kegiatan museum atau kegiatan seni budaya. Tentu saja ini sangat menarik dan membangkitkan semangat. Sejak tahun 2016 kami rajin mengirim proposal pendanaan ke berbagai lembaga dengan harap-harap cemas. Hasilnya? Penolakan demi penolakan kami terima dengan berbagai alasan, namun lebih banyak lagi yang tidak direspon. Barangkali ini memang sebuah jalan yang harus dilewati. Itu semua adalah kejadian sebelum terjadi pandemi Covid 19.
“Anugerah dan bencana adalah kehendaknya”. Demikian petikan sair sebuah lagu dari Ebiet G Ade. Di masa bencana pandemi ini, sebuah anugerah turun ke MMI. Melalui surat elektronik, pada bulan Mei 2020 kami menerima pemberitahuan dari badan UNESCO, Komite Asia-Pasifik untuk Memory of The World (MOWCAP). Isinya adalah pengumuman bahwa proposal dari MMI diterima dan disetujui oleh MOWCAP untuk memperoleh grants (dana hibah) bersama 7 organisasi lain dari negara-negara di Asia Pasifik. Jumlah hibah untuk MMI adalah USD 3,500. Proposal yang kami ajukan adalah digitalisasi 200 majalah Aktuil dan selanjutnya diposting di website agar bisa diakses oleh masyarakat. Aktuil adalah sebuah majalah musik yang terbit di Bandung dari tahun 1967 sampai 1978. Kami berpandangan bahwa isi majalah tersebut merupakan bagian dari sejarah musik di Indonesia yang layak dilestarikan. Apresiasi dari MOWCAP ini menambah keyakinan kami bahwa kegiatan pendataan, konservasi dan keterbukaan informasi publik merupakan kegiatan penting dalam upaya pemajuan kebudayaan dan membangun peradaban bangsa.
Mendigitalisasi halaman-halaman majalah adalah suatu upaya pelestarian dokumen. Dokumen dalam wujud hard copy berupa kertas tentu mudah rusak karena umur, dimakan rayap, robek, terbakar, terkena tumpahan kopi atau karena tata cara dan kondisi tempat penyimpanan dokumen yang tidak memenuhi syarat. Dampak kerusakan tersebut bisa diminimalisasi dengan adanya soft copy atau adanya konversi dari dokumen kertas menjadi dokumen digital. Hanya perlu diantisipasi jangan sampai hard ware dan soft ware yang dipergunakan terinfeksi oleh serangan virus. Mendigitalisasi dokumen lalu mempostingnya di website akan menjadikan dokumen lebih bermanfaat karena bisa diakses oleh publik.
Pangkalan Data
Untuk lebih meningkatkan nilai manfaat ini MMI melengkapinya dengan menambahkan daftar isi di setiap nomor penerbitan. Daftar isi terdiri dari judul, nama penulis dan fotografer serta halaman. Judul pada umumnya diisi dengan nama artis, atau nama sebuah event atau nama lain yang terkait dengan objek yang ditulis. Daftar isi majalah ini bisa menjadi sumber data otentik apabila akan diolah dan dikembangkan sebagai bagian dari pangkalan data musik Indonesia. Objektifitas data akan meningkat kalau ini dilengkapi dengan data yang bersumber dari majalah-majalah musik lainnya yang pernah terbit di Indonesia. Ini akan bisa menjadi big data apabila bisa dilengkapi lagi dan diintegrasikan dengan data karya musik atau album yang pernah beredar di Indonesia, data event pentas musik, data objek pemajuan kebudayaan yang terdapat dalam dokumen PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah), data lagu yang memiliki hak cipta, data keanggotaan PAPPRI dan ASIRI, arsip pentas musik di stasiun TV dan berbagai macam data lainnya yang berserakan di banyak tempat.
Masalah pendataan ini sempat mencuat pada saat Konferensi Musik Indonesia pertama yang berlangsung di Kota Ambon tahun 2018. Ada 12 deklarasi yang dihasilkan dan masalah pendataan musik tercantum dalam butir teratas. Namun sayang, sepeninggal Glenn Fredly, salah satu motor penggerak konferensi, butir pertama deklarasi ini tak terdengar kelanjutannya.
Pada awal Agustus 2020 yang lalu saya diundang oleh Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru untuk mengikuti pertemuan daring membahas penyelenggaraan acara FME (Film Mega Event) “Indonesia Bercerita”. Saat itu saya menyampaikan keberadaan koleksi MMI yang terkait dengan sejarah film dan sejarah musik di Indonesia. Pertama adalah koleksi majalah film dan majalah musik yang pernah terbit di Indonesia. Isi majalah bisa menjadi bahan baku untuk menyusun “Indonesia Bercerita” dalam konteks sejarah film dan sejarah musik pada masa lalu. Kedua adalah koleksi rekaman soundtrack film dalam bentuk kaset dan piringan hitam. Ketiga adalah koleksi keanekaragaman musik tradisi etnik nusantara berupa rekaman piringan hitam, kaset dan CD serta berbagai instrument musik etnik yang berada di MMI. Instrumen-instrumen tersebut diperoleh MMI dari sumbangan 40 Walikota dan Bupati dari Sumatera sampai Papua.
Koleksi Musik dan Film
Seusai rapat daring, saya tergerak untuk mengeksplore lebih rinci koleksi museum. Dari kurun waktu 1970 sampai 2000 saya temukan 14 nama majalah dan tabloid film dengan jumlah 640 exemplar. Untuk majalah musik jumlahnya lebih banyak lagi, yaitu 1.400 exemplar dari 49 nama majalah yang pernah terbit di Indonesia dari dekade 1950 sampai 2020. Lalu masih ada majalah hiburan, majalah keluarga dan majalah umum yang di dalamnya juga terdapat konten-konten tentang musik dan film. Jakarta memang masih menjadi kota yang dominan dalam penerbitan majalah-majalah tersebut. Namun beberapa kota lain juga menerbitkan majalah musik yaitu Bandung, Yogya, Semarang, Surabaya dan Malang.
Dokumen lain yang terkait dengan musik dan film adalah buku-buku katalog, ensiklopedi, biografi seniman musik dan film, pelajaran musik serta buku kumpulan lagu-lagu, baik lagu daerah, lagu nasional/kebangsaan serta lagu populer. Selain memuat lirik lagu, beberapa buku telah dilengkapi dengan chord dan partitur baik berupa notasi angka maupun notasi balok. Salah satu buku istimewa yang terdapat di MMI adalah Katalog Film Indonesia 1926-2007 yang memuat daftar film yang pernah dibuat di Indonesia dalam kurun waktu tersebut. Beberapa film yang pernah menjadi box office, rekaman soundtrack-nya juga terdapat di MMI. Antara lain ada film Pengantin Remaja, Cinta Pertama, Badai Pasti Berlalu, Petualangan Sherina dan Catatan Si Boy Seri 1sampai 4. Sebuah lagu terkenal berjudul Sakura karya Fariz RM kasetnya juga tersimpan di museum. Lagu ini menjadi ilustrasi dari film Sakura Dalam Pelukan yang salah satu bintang filmnya adalah Rudi Hartono, bintang olahraga yang telah mengharumkan nama Indonesia lewat kejuaraaan bulutangkis All England. Bertahun-tahun piala dari Inggris tersebut berada di tangannya.
Sebagai sebuah museum yang memiliki visi “Menjadi Pusat Dokumentasi Karya Musik di Indonesia”, koleksi terbesar MMI adalah karya-karya musik yang pernah direkam dan diedarkan luas ke masyarakat. Sekitar 80% dari 35.000 koleksi yang berada di MMI adalah koleksi rekaman musik dalam bentuk kaset, piringan hitam dan CD. Sampai akhir Agustus 2020 telah teridentifikasi 500 buah album rekaman kaset daerah dari Sumatera sampai Papua yang masing-masing album berisi sekitar 10 lagu.
Selain dalam wujud audio, karya musik daerah di Indonesia juga tercermin dari keanekaragaman jenis instrument musik tradisi warisan nenek moyang kita. Terdapat 60 instrumen musik tradisi yang saat ini tersimpan di MMI dan berasal dari 39 walikota se Indonesia, satu bupati dari Papua serta masyarakat lainnya dari berbagai kota. Berdasar sumber bunyinya instrument tradisi tersebut dapat diklasifikasikan dalam jenis instrument idiophone, membraphone, chordophone dan aerophone. Keempat jenis instrument tersebut terdapat dalam koleksi MMI. Hanya saja ada 5 daerah yang kami belum memiliki instrument musik tradisinya, yaitu Aceh, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Keberadaan koleksi-koleksi tersebut makin menunjukkan betapa Indonesia ini sangat kaya dengan keanekaragaman budaya.
Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu
Di masa pandemi ini, angin segar dihembuskan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan yang telah menindaklanjuti Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dengan membuat program SPKT (Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu). Langkah awal sudah dilakukan dengan menghimpun dokumen PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) dari Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia. Dalam dokumen tersebut terdapat data yang setidaknya mencakup objek pemajuan kebudayaan, sumber daya manusia, lembaga kebudayaan, serta sarana, prasarana dan pranata kebudayaan. Di dalamnya tentu terdapat juga data untuk kesenian, termasuk seni musik.
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid pernah menyampaikan bahwa kondisi data kebudayaan pada saat ini tersebar pada berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah maupun swasta dan umumnya datanya belum terorganisasi dengan baik. Data disimpan untuk kepentingan masing-masing dan susah diakses masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mengintegrasikan seluruh data kebudayaan tidaklah mudah dan memerlukan waktu cukup lama. Semoga saja dengan Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia bisa mendorong proses integrasi, keterbukaan dan transparansi data. Dengan demikian akan tercipta perencanaan dan perumusan kebijakan pembangunan yang berbasis pada Data.
Museum sebagai salah satu institusi yang menyimpan beragam data kebudayaan tentu memiliki peran strategis dalam program SPKT ini. Mengikuti kemajuan teknologi adalah sebuah tuntutan yang harus dijalankan. Salah satu langkahnya adalah pengelola museum semestinya melakukan konversi data kebudayaan yang terdapat di museumnya masing-masing dari data manual ke data digital. Tentu diperlukan pembinaan dari Ditjen Kebudayaan agar tercipta keserasian data antar museum sehingga mudah diintegrasikan dalam sistem Satu Data Indonesia. (HHW)
Foto 1: Mengkaji koleksi museum (Dok.foto: Johanes Antok)
Foto 2: Menata display koleksi majalah musik (Dok.foto: Johanes Antok)
Foto 3: Menata display koleksi piringan hitam (Dok.foto: Johanes Antok)
Foto 4: Proses digitalisasi majalah Aktuil (Dok.foto: Johanes Antok)
Foto 5: Sapek, instrumen musik tradisi dari Kalimantan(Dok.foto: Johanes Antok)
Foto 6: Kendang Sunda, instrumen musik tradisi dari Jawa Barat(Dok.foto: Johanes Antok)