Guruh Gipsy

0

Kaset Guruh Gipsy Kesepakatan dalam Kepekatan

“Kami ingin menghasilkan suatu karya sebaik mungkin yang dapat mengajak para pemuda-pemudi kita untuk lebih memperhatikan kesenian dalam negeri”. Inilah pesan penting yang disampaikan oleh Guruh Sukarno terhadap album Guruh Gipsy ini. Ada nilai penting sejarah, pendidikan, kebudayaan serta semangat untuk terus memperkokoh kebinekaan. Spirit yang sejalan juga menjadi spirit Museum Musik Indonesia.

ATRIBUT

Judul Album: Guruh Gipsy, Kesepakatan Dalam Kepekatan
Jenis koleksi Kaset 
Jumlah lagu
 Muka l1.Indonesia Maharddhika2.Chopin Larung3.Barong Gundah Muka ll1.Janger 1897 Saka2.Geger Gelgel3.Smaradhana Lagu Tambahan:Sekar Ginotan 
Asal Perolehan: Sumbangan Aan Sanaf, Jakarta
Tanggal Sumbangan: 11 Januari 2020
Nomor Registrasi: 005-A20

Riwayat Singkat GIPSY

1966: Tujuh anak muda di Jakarta membentuk sebuah kelompok music dengan nama SABDA NADA.Mereka terdiri dari Ponco, Gaury, Joe-Am, Eddy, Edit, Ronald dan Kinan. Kelompok tersebut pernah mengadakan pertunjukan di Bank Indonesia Jl.Thamrin-Jakarta, dimana mereka mencoba melakukan penggabungan antara music Barat dan music tradisional Bali bersama kelompok penabuh gamelan (wanita) yang dipimpin oleh Wayan Suparta Wijaya.Disamping itu mereka pernah mengadakan pertunjukan pula di Istora Senayan Jakarta.

1969: Sabda Nada merubah susunan  pemain dan mengganti namanya menjadi GIPSY yang terdiri dari Kinan, Onan, Chris dan Tammy. Dengan Gipsy ini mereka sempat pula mengadakan pergelaran di Taman Ismail Marzuki dengan dibantu oleh Mus Mualim, dimana pertunjukan ini bertujuan untuk memberi kesan kepada masyarakat bahwa music Indonesia  apapun bias disadur dengan baik, sehingga anak muda merasakan bahwa bobot musik di Indonesia saat itu tidak sedangkal seperti yang sering dibawakan oleh kelompok musik lainnya

1970: Ketika terasa perlunya bagi kelompok tersebut untuk menggarap musik lebih apik dan cermat, maka datanglah seorang anggota baru yang bernama Atut Harahap (alm), dan lahirlah GIPSY CLUB.

1971: GISPY kembali merubah susunan pemainnya, yaitu Kinan, Chris, Gaury, Rully, Aji, Lulu. Dengan susunan ini mereka mengadakan  pertunjukan di Restoran Ramayana, New York, selama delapan bulan. Sepulangnya dari Amerika kelompok ini tidak pernah melakukan kegiatan lagi.

1974: Tiga bersaudara Nasution, Kinan-Oding-Debby, ditambah dengan kawan-kawan Abadi Soesman dan Roni membentuk kembali kelompok baru dan mengadakan pertunjukan di Taman Ismail Marzuki.Pada kesempatan itu diajaknya Syaukat Suryabrata dan kawan-kawan bergabung menabuh gender Bali yang dicampur dengan alat musik listrik.

1975: Bekerja sama dengan Guruh Sukarno Putra membuat rekaman Guruh Gispy

1976: Menyelesaikan rekaman Guruh Gipsy

Cerita Dibalik Lagu

Indonesia Maharddhika.Lagu: Roni dan Guruh.Syair: Guruh.Saduran: Gipsy-Guruh

Indonesia Maharddhika artinya Indonesia yang kaya raya, kuat dan perkasa, merupakan lagu terakhir yang ditulis Guruh Gipsy buat rekaman ini. Guruh Gipsy menulis lagu tersebut sebagai rasa syukur kehadirat Illahi atas karuniaNya berupa tanah air yang elok dan permai.Bunyi-bunyian Barat lebih ditonjolkan daripada bunyi-bunyian gamelan. Suara gender hanya muncul sepintas lalu, sedang organa memandu jalannya lagu pada laras dwinada (diatonik) maupun laras pancanada (pentatonic) gaya gamelan. Teknik menyanyi dipergunakan cengkokan (gaya khas dalam menyanyi) gaya Barat dan juga Bali.

Chopin Larung.Lagu dan syair: Guruh.Saduran: Guruh.

Guruh sangat menyenangi lagu Fantasie Impromptue karya Fryderyk Farancisztek Chopin.Guruh ingin memainkan lagu Fantasie Impromptue pada nada-nada musik di Bali.Isi syairnya sekedar mengungkapkan secara semu perasaan Guruh sebagai warga Negara Indonesia melihat tingkah laku orang asing yang tinggal di Bali dan perlakuan kita terhadap mereka.Nadanya dialih dari nada-nada Semara Pegulingan di banjar Teges Kanginan Ubud Bali.Semara atau Smara adalah nama dewa cinta dalam agama Hindu, pegulingan artinya peraduan (tempat tidur).Gamelan ini digunakan demikian karena menurut cerita, ketika dewa Smara sedang tidur, ia mendengar suara gamelan yang sangat indah tak terperi. Dari nada-nada yang didengarnya kemudian dibuatnyalah satu perangkat gamelan.Itulah dia gamelan Semara Pegulingan.

Jenis gamelan ini sudah tidak begitu banyak lagi didapat.Demikian pula para penabuhnya.Anak-anak muda (terutama yang “gedongan”) zaman sekarang rata-rata enggan mempelajarinya, karena bagi kuping mereka yang sudah terbiasa dengan music-musik keras dan deru sepeda motor, suara gamelan ini mengantukkan lagi pula kuno.Padahal ahli-ahli music Semara Pegulingan kian hari kian susut.Sekarang tinggal persoalan angkatan di bawahnya, dapat memanfaatkan ratna-ratna khasanah kebudayaan sendiri atau tidak.

Gamelan Semara Pegulingan ada 3 macam, yang bernada 5,6 dan 7. Yang nadanya 5 antara lain dipergunakan untuk mengiringi tarian legong dan barong karena itu lazim juga disebut gamelan pelegongan.

Barong Gundah.Lagu: tanpa nama.Saduran: Guruh-Gipsy.

Di rumah Kinan personil Guruh Gipsy ada piano bobrok merek Robinson.Nada-nada piano itu rata-rata sudah pada sumbang dan salah satu dawai nada F# putus.Bila diketuk nada itu maka timbul suara yang sumbang dan lain warnanya.

Pada suatu hari Guruh Gipsy ramai-ramai main gending barong pada gender-gender yang berlaras Selendro itu.Serta merta timbul gagasan Guruh menggabungkannya dengan piano.Tak tahu kenapa, Guruh memainkan candetan pada piano dengan tangga nada- nada penuh (whole tone).Kedengarannya jadi aneh, warna perpaduannya unik seperti music jatilan.Rupanya “si bobrok” berjasa dalam penciptaan lagu ini.

Karena warnanya aneh, semrawut, tidak seperti aslinya, maka saya tidak mau menyebut lagu ini sebagai lagu barong melainkan saya namakan saja: Barong Gundah.Ini hanya sekedar nama.

Lagu tersebut merupakan karangan pertama buat musik percobaan Guruh Gipsy. Gendingnya terdiri dari dua bagian, yakni: gilak dan penyalit.

Janger 1897 Saka. Lagu: tanpa nama (kesenian rakat Bali + onde-onde lagu rakyat Betawi).Syair: tanpa nama +Guruh.Saduran: Guruh, Roni, Trisutji.

Setiap lagu biasanya dibuka oleh seorang janger, kemudian disusul oleh paduan suara khas Bali.Laras lagu janger kebanyakan Selendro.Pembawa melodi ditekankan bukan pada alat-alat tetabuhan, melainkan pada paduan suara.Syairnya sering berkisar pada masalah muda-mudi.Tetapi disamping itu sering juga diungkapkan hal-hal yang sedang hangat di kalangan mereka.

Menurut Guruh, sifat musiknya sangat rakyat, dan sangat cocok untuk dibawakan pada acara-acara folk song model anak muda jaman sekarang.Karena tertarik oleh suasana folk song itu maka Guruh mencoba mengalih lagu-lagu janger ke piano.

Laras Selendro pada lagu-lagu janger dapat dimainkan pada piano (walaupun tidak tepat benar) dengan mengetuk bilah-bilah hitam mulai dari: F#, jadi F#-G#-A#-C#-D#. Tangga nada ini adalah salah satu dari laras-laras tertua yang dikenal manusia (muncul kurang lebih 2000 tahun sebelum Masehi ?). Lagu-lagu rakta banyak yang mengambil dasar tanggal  nada ini, misalnya rakyat Skotlandia “Auld lang Syne”, lagu Bob Dylan “I Shall Be Released”, lagu The Beatles “Don’t Let Me Down”, lagu-lagu Cina, Jepang, Betawi, Gandrung banyuwangi, Kalimantan dan lain-lain.

Pada rekaman ini, Guruh Gipsy memadukan music janger dengan orchestra simfoni.Berhubung jalur rekaman terbatas dan ruangan studio sangat sempait (sehingga tak dapat menampung banyak orang), maka suasana meriah pada janger sukar diungkapkan.

Geger Gelgel.Lagu dan syair: Guruh. Saduran: Guruh-Gipsy.

Waktu lagu ini dibuat, Guruh Gipsy sedang semangat-semangatnya merekam. Ini merupakan lagu kedua yang ditulis untuk musik percobaan.

Malam-malam Guruh bersama Kinan mencoba-coba lagu ini di rumah kakak Guruh, temaptnay menginap. Kinan memegang gitar, Guruh memainkan piano yang bilah-bilahnya sebagian besar sudah pada macet.

Beberapa hari kemudian mereka mencoba lagi beramai-ramai di rumah Kinan. Untung  I Gusti Kompiang Raka bisa mengusahakan setengah perangkat gamelan kebyar. Di siang hari yang hujan lebat itu mereka terus berlatih.Rumah Kinan bocor-ruangan tempat latihan kebanjiran-terpaksa latihan ditangguhkan sebentar sampai hujan reda.Guruh  salut pada para penari pimpinan  Retno.Mereka penari-penari anggota Saraswati, suatu Yayasan Kebudayaan Bali di Jakarta. Walaupun kebocoran dan banjir, semangat mereka tak luntur buat nge”koor”.Padahal yang harus dinyanyikan pada hari itu Cuma satu huruf saja: eeeeee…Bukan main !

Kalau tak salah cuma dua kali latihan, lagu yang diilhami oleh music gaya gamelan kebyar dan music keras barat itu langsung masuk rekaman. Maka masuklah “gerombolan” Guruh Gipsy dengan alat tetabuhan aneka rupa ke studio sempit tanpa mesin penyejuk itu.Mereka mulai bergulat mewujudkan gagasan.

Gamelan yang dipakai Guruh Gipsy adalah gamelan kebyar (pelog) yang kurang lebih sepadan dengan laras Cis major Eropa.Ketepatan laras tidak terlalu diindahkan karena memang sengaja dicari keselarasan paduan bunyi baru.Kegunaan gong di sini adalah untuk menawarkan “tabrakan” nada-nada.

Teknik menyanyi disamping mempergunakan gaya barat dipergunakan juga gaya arja (di bagian Sinom, Durma), dalam hal ini menyanyi tidak selaras dengan mode.Di Bali seringkali penyanyi menyanyikan lagu berlaras Selendro sedang musiknya pada gamelan Pelog.Pengertian sumbang menurut patokan/ukuran barat disini tidak berlaku.

Smaradhana (asmara membara).Lagu dan syair: Guruh.Saduran: Trisutji-Guruh.

Malam itu bulan benderang dan langit penuh bertaburkan bintang-bintang ketika Guruh berada di suatu desa kawasan Gianyar Bali.Di kejauhan terdengar suara gamelan mendayu-dayu.Bunyinya amat manis dan nyaring, menimbulkan kesan seolah-olah jiwa turut menari melayang-layang bersama nada-nada yang terhembus angin.

Di dekat pura sedang ada keramaian.Tampak dua orang gadis cilik menari dengan lemah gemulai.Gerakannya anggun,bagai dua peri sedang bercengkerama.Mereka membawakan tari Legong.Mereka mementaskan petilan lakon Samaradhahana (Semarandana), suatu dongeng kedewataan yang mengandung filsafat tentang cinta.Dengan duduk terleka saya hayati adegan demi adegan.

Pada Legong, kisahnya bermula pada waktu dewa Smara (Batara Kamajaya, dewa cinta) sedang bercumbu dengan isterinya, Ratih, di taman sari.Ia merayu isterinya agar diperkenankan pergi untuk menjalankan tugas yang diberikan oleh Batara Guru.Dewa Smara diutus oleh Batara Guru ke gunung Mahameru untuk membangunkan dewa Siwa yang sedang bertapa, karena di kahyangan sedang ada keonaran yang dibuat oleh raksasa sakti bernama Nilarudraka.Para dewa tak ada yang sanggup. Maka dengan perantaraan dewa Indera ia mengutus dewa Smara. Walau dengan berat hati akhirnya Sang Dewi melepaskan kepergian suaminya.

Sampailah Sang Smara di pertapaan Sang Siwa.Ia mencoba membangunkannya.Namun dewa Siwa tetap teguh dengan tapanya.Kemudian dicobanya dengan panah, namun anak panah malah berubah menjadi rangkaian bunga.Akhirnya dilepaskanlah panah tersakti.Siwa kaget dan terjaga.Krena murka, dengan tak sadar ia bertiwikrama, dan dari matanya yang ketiga menyorotlah sinar yang membakar Smara.dewa cinta perlaya dalam bara.

Di kala Siwa reda amarahnya, barulah ia menyadari apa yang telah terjadi. Ia telah menutup usia dewa yang senyumnya menawan dan paling rupawan. Siwa menangis dan ingin menghidupkan dewa Smara kembali, namun apa daya, raga sang putera telah menjadi abu.Dengan air mata berlinang dikumpulkannya abu itu.

Tak lama kemudian datanglah rombongan para dewa yang menyusul dewa Smara atas titah Batara Guru.Siwa berujar di hadapan mereka bahwasanya walaupun Smara sudah tak mempunyai raga namun ia akan tetap hidup. Hidup dalam raga makhluk dunia. Maka ditebarkannya abu itu ke mayapada.

Dewa Cinta tetap perlina, tetapi konon ia merasuk ke setiap sukma: pada setiap senyuman, atau pada kicauan burung, atau pada jejaka yang sedang mabuk asmara, dewa Smara hidup abadi.

Akhir dari cerita inilah dating filsafat: Cinta itu walau tidak tampak tetapi ada. Dongeng Smaradhana banyak dibawakan dalam kesenian Jawa, Bali; antara lain dalam pelegongan, wayang, sastra, dan lain-lain. Lagu ini diciptakan tahun 1972, bertangga nada diatonic, pada C mayor, namun hiasan musiknya banyak berjalan pada laras yang mendekati Pelog (pentatonic).

Nilai Penting Sejarah

Guruh Sukarno Putra  menulis Sekapur Sirih dalam buku Guruh Gipsy, diterbitkan PT Dela Rohita, Jakarta Pusat.Dalam catatan bertiti mangsa 25 Desember 1976  tersebut Guruh menulis dengan runut sejarah dibalik perilisan album Guruh Gipsy. Berikut, sebagian dari tulisan Guruh Sukarno Putra:

Laboratorium Pengembangan dan Penelitian Audiovisual PT Tri Angkasa menjelang pertengahan 1975 baru saja dibuka.Peralatannya cukup hebat, pita rekam 16 jalur (track) pertama di Indonesia. Namun belum ada yang bias mempergunakannya dengan baik. Alex, ketua juru rekam memang cukup ahli, tetapi karena semua peralatan masih asing baginya serta studio darurat terlalu sempit, maka ia perlu membiasakan diri.Kinan dan saya  yang sudah lama menggarap percobaan music berkesempatan bekerja sama dengannya dalam suatu rekaman yang sifatnya percobaan pula. Maka dimulailah kami bekerja.

Dalam musik, kami padukan unsur musik Indonesia (terutama musik Bali) dengan musik Eropa. Ini bukan hal yang baru.Banyak orang sudah melakukannya, antara lain: Debussy (1880-an), Bela Bartok (1920-an), Walter Spies (1930-an), Colin McPhee (1930-an), Wheeler Backet (1960-an), FA Warsono (1960-an), dan lain-lain. Unsur music klasik, jazz, hard rock, folk song, kebyar, bebarongan, gambuh, jatilan, pakarena, musik militer, dan lain-lain, sedikit banyak dimasukkan guna mempelajari efek-efek yang timbul baik dari segi musik maupun tata rekam.Pola gending dan hakekat pada musik Bali disini lebih mengutamakan terjadinya suasana baru daripada suasana asli di Bali.

Lagu-lagu yang kami rekam ini sebenarnya diciptakan untuk pementasan, jadi dipersiapkan buat suatu karya tari kontemporer. Karena itulah maka lagunya panjang-panjang dan dirangkai menurut adegan-adegan. Boleh jadi lagu-lagu tersebut agak berat dicernakan oleh umum. Lalu apa sesungguhnya yang terkandung hati sanubari kami? Terutama sekali, kami ingin menghasilkan suatu karya sebaik mungkin yang dapat mengajak para pemuda-pemudi kita untuk lebih memperhatikan kesenian dalam negeri.Untuk itu kami tetap teguh pada keyakinan kami dan sengaja melupakan beberapa segi komersil. Musik ciptaan kami tidaklah perlu dipahami, tetapi maksud-maksudnya yang terkandung dalam ciptaan itulah yang kami harap perlu dikaji.

Lewat kesempatan ini ingin pula rasanya kami member sedikit sentilan dan gambaran tentang terbaurnya kebudayaan Barat dan kebudayaan asli di Indonesia.Nasib kesenian pusaka makin memburuk di negeri ini, penyaringan unsure dari luar tidak se”seni” seperti dulu.Bukan kami hendak mempertahankan adat kolot, melainkan ingin kami peringatkan agar hati-hati bertindak dalam memperlakukan warisan kesenian. Di satu fihak orang merawat atau memugarnya dengan semaunya sehingga sering terjadi “kesalahkaprahan”, di lain fihak orang tidak mengindahkannya sama sekali; terutama di kalangan angkatan muda Indonesia yang “gedongan”.

Daftar Pustaka:

  • Buku Guruh Gipsy, Guruh Sukarno Putra, PT Dela Rohita, Jakarta Pusat, 1976
  • Museum Musik Indonesia, Catatan dua tahun Museum Musik Indonesia, Malang 1 November 2021, www.museumusikindonesia.id 

(Abdul Malik, Museum Musik Indonesia.Sumber: 20 Koleksi Unggulan Museum Musik Indonesia edisi revisi, 2024)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here