Majalah Musik
Majalah musik adalah media informasi mengenai (1) berita kegiatan, (2)sorotan esai, kritik, dan timbangan; (3)pembahasan menyeluruh mengenai seluk-beluk ilmiah musikologi; (4)teori yang mencakup Teknik dan pengetahuan dasar ilmu musik.Sejak Indonesia Merdeka, belum ada majalah seperti ini yang dapat bertahan.Artinya dalam batas-batas tertentu, 4 materi di atas pernah muncul dalam pers nasional, tetapi tidak bersifat khusus, selain sebagai pelengkap dalam suatu majalah umum kebudayaan, mulai dari Zenith (dengan redaktur H.B.Jasin, Asrul Sani, Siti Nuraini, RivaiA pin), sampai Budaya Jaya (dengan redaktur Ajip Rosidi, Ramadhan KH., Harjadi S.Hartowardojo).Banyak penulis yang baik muncul selama masa yang lumayan panjang, yaitu 1951 sampai 1976.Di antara mereka harus disebut Amir Pasaribu, J.A.Dungga, Liberty Manik, dan jangan lupa Armijn Pane (walaupun nama yang terkahir ini sering jadi bulan-bulanan tulisan Amir Pasaribu).Dalam majalah umum yang bukan menggarap masalah kebudayaan, tetapi punya rubrik khusus mengenai music, terbit tahun 1950 di Yogyakarta, yaitu Nasional (dengan redaktur: Mr.Sumanang).Tahun 1957 terbit majalah Musika (dengan redaktur: Wienaktoe).Pembahasan music di sini sifatnya apresiatif.Masa hidupnya lumayan Panjang.Setidaknya lebih 10 kali.Yang memelas adalah majalah (juga Bernama) Musika yang terbit tahun 1972, sekali dan setelah itu habis napas.Padahal majalah ini sangat memenuhi syarat sebagai majalah ilmiah music.Redakturnya antara lain Suryabrata, Frans Haryadi, Suka Hardjana, dll.Di luar itu, sejak 1950-an memang ada majalah yang cenderung musik, tetapi terbatas hanya dalam bidang pop, yaitu Diskorina, terbit di Yogyakarta.Kebanyakan isinya mengenai catatan lagu, model acara pilihan pendengar di radio, yaitu dengan catatan, dari anu untuk anu dengan ucapan anu.Biasanya ucapannya yang cengeng dan genit.Tak berapa lama setelah itu, model yang hampir sama dengan Diskorina, terbit di Bandung Namanya Aktuil (dengan redaktur antara lain Remy Sylado, Denny Sabri, Sonny Suriaatmaja).lalu beberapa tahun kemudian, melihat bahwa Aktuil laku di pasar, dan menjadi semacam bacaan standar bagi anak muda, maka di Jakarta terbit pula majalah Top (dengan redaktur antara lain Remy Sylado, Robani Bawi, Theo KS., Martha Boerhan, Zainal Abdi), yang isinya nyaris kembar dengan Aktuil, sehingga merusak diri di pasar, dan berakhir dengan kematian.Masih dalam bayang-bayang itu, terbit pula di Salatiga, dan masih hidup hingga kini, Topchord, yang kadang-kadang memuat masalah musik secara serius.
Pada 1983, orang-orang bekas Aktuil melanjutkan penerbitan Vista sebagai majalah mirip Aktuil, tetapi kehilangan konsentrasi karena keadaan pasar majalah tidak seperti dasawarsa 1970-an, di mana video belum dikenal. Akhirnya Vista (dengan redakturnya Remy Sylado, Buyunk, Denny Sabri, Yudhi NH, S.K.Martha, Darmoyo SS) bubar juga, lantas SIT-nya dilanjutkan oleh Perusahaan lain.Semua majalah yang disebut terakhir ini, kendatipun secara tetap mengisi rubrik music serius, etnomusikologi, pembahasan dan kritik, tetaplah tidakan sendirinya boleh dikatakan sebagai “majalah musik”.Untuk melihat sebuah majalah music, dan menemukan jawaban tentang masalah-masalah yang dihadapinya, maka pertama-tama harus dilihat dulu masalah yang umum terhadap penerbitan media pers di Indonesia.Pertama, kelemahan banyak majalah di Indonesia, terbitnya hanya didorong oleh semangat jurnalistik “zaman revolusioner” yang bertolak penuh dari semangat kerja pertukangan plus sedikit hobi.Dengan ini, maka yang kentara jelas adalah bahwa kerja pertukangan mengharuskan para jurnalis harus punya ladang menulis tetap, dan karenanya ia memperoleh gaji tetap.Yang tampak di sini adalah semata kerja yang berkaitan produktivitas, bukan kerja didasari gagasan yang melahirkan wawasan, karenanya berkaitan dengan kreativitas.Kerja menjadi semacam kutukan, bukan anugrah.Hal seperti ini memang tak menghasilkan jurnalis yang kritis, bisa mengarahkan, inovatif, dan tentu, punya tanggung jawab nasional.Karena itu tak perlu bicara kualitas jurnalisme.Bagaimana kualitas tulisan, yang didukung oleh pengetahuan luas mengenai bidang tulisan yang menghasilkan, tak banyak dipersoalkan.
Unsur latar belakang pandangan seakan-akan pers hanyalah sebuah rekorder yang menampung pendapat, dan tak harus punya pendapat sendiri.Pandangan ini memang sedikit demi sedikit berubah setelah model “investigated journalism” berkembang di Amerika pada dasawrasa awal 1970-an, dan model itu bergaung pula ke sini. Masalah kedua, harus dilihat lagi sebagai kelemahan, adalah bahwa semangat dianggap lebih penting dari semua persoalan, sehingga akibatnya tidak sempat menalarkan inti kerja jurnalistik itu sendiri sebagai usaha serius dan tertib melalui system manajemen yang rapi, ahli dan pakar.Baru setelah diberlakukan peraturan mengenai SIUP, secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan masuk dalam akal, bahwa penerbitan sebuah majalah, ternyata berurusan dengan modal besar dan itu berarti pengelolaannya harus ditata dengan kemampuan dagang yang hebat dengan memilih jurnalis yang mustaid.Sayang, sampai jauh ini, niat untuk menerbitkan majalah music dengan system manajemen yang rapi seperti itu, tak pernah terbetik di telinga.Satu dua majalah yang mengatasnamakan diri sebagai sebagai “majalah musik”, lebih asyik menjadi sebagai media promosi daripada mengurus hal-hal yang bersifat wiyata dan kritik.Di Jakarta bahkan ada Kumpulan wartawan yang berkumpul di suatu tempat di Kawasan Jakarta Pusat yang mengurus melulu mengenai rilis kset-kaset yang bakal beredar.Dan sebagaimana dapat dilihat, isi rilis adalah memuji tanpa alasan mengenai barang dagang yang telah beredar di pasar, yaitu kaset, dan karena pujian itu berasal dari satu sumber, maka tak heran, dalam satu minggu serentak dapat dibaca di semua media, rilis yang sama mengenai kaset tersebut.Hanya satu dua media yang takt embus rilis semacam itu, yaitu Kompas dan Tempo.Walaupun begitu, mereka tetap bukan pula jurnalis yang diharapkan dapat melahirkan sebauh media berkala tentang musik kendatipun terbuka harapan untuk itu. Sebab, sebuah majalah music, bukanlah media pelajaran tentang ilmu music, tetapi lebih tajam harus dipandang sebagai media informasi yang bersifat jurnalistik mengenai music yang memang dalamnya harus mengandung nilai pengajaran.Oleh sebab itu, keberadaan sebuah majalah musik—yang baik tentu—akhirnya memerlukan ahli-ahli music yang memahami secara persis bidang keilmiahan music di satu pihak, disertai dengan memahami secara persis masalah-masalah jurnalistik khas Indonesia yang menyangkut segi manajemen di lain pihak.
Gambaran tentang materi penulisan music yang menyangkut dua sisi itu, naga-naganya belum tampak lagi saat ini setelah Amir Pasaribu meninggalkan Indonesia ke Suriname.Memang Pasaribu belum membuktikan memimpin sebuah majaah music, tetapi setidaknya ia telah menunjukkan suatu gaya jurnalistik paling baik yang pernah dipunyai musikus sekaligus kritikus Indonesia.Apabila kemampuan serupa itu ada saat ini, memang terbuka sekali kemungkinan terbitnya sebuah majalah music.Apa sebab suatu negara memerlukan majalah music? Tak lain karena Pembangunan suatu bangsa berkait erat dengan pertumbuhan keseniannya, dalam hubungan ini music.Musik merpakan ikhtisar catatan Sejarah suatu bangsa.Jika peradaban pun runtuh, music tetap hidup dalam jiwa.Kekuatan ini taka da dalam sastra, seni rupa, dll.Masalahnya sekarang, bagaimana memberi keyakinan daya jual sebauh majalah music.jika dengan pelbagai wiyata kelayakan menunjukkan tak mengizinkannya pasar untuk itu, barulah bicara, bahwa majalah seperti ini setelah Merdeka lebih 40 tahun memang memelas sekali.Para jagoan olahraga sekarang memang dielukan sebagai pahlawan, dan karenanya biaya untuk membenah olahraga tak kecil.Tetapi 100 tahun akan dating, bukti besarnya bangsa Indonesia bukan karena olahraga, tetapi melalui seni, dalam hal ini music.Pepatah lama Bahasa Latin cukup memberi gambaran tentang ini: Ars longa vita brevis, seni itu abadi, hidup ini singkat. Sebegitu jauh, setelah berlakunya SIUP yang ditandai dengan manajemen pers yang tertib, muncullah dari kelompok raksasa pers: Gramedia, sebuah bentuk tabloid yaitu Citra Musik, terbit pertama kali tahun 1990.Termasuk Harry Rusli, pemusik yang menulis kritik dengan baik di sini. (SUMBER: Japi Tambayong, Ensiklopedi Musik Jilid 2 halaman 5-6, PT Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1992. KOLEKSI: Museum Musik Indonesia)