Pop

0

Pop

Istilah ini di satu pihak merupakan kebahagiaan, karena dengannya para penggarap bidang music ini cepat menjadi kaya, di lain pihak merupakan istilah yang mengandung lecehan karena sepinya bidang ini mempersalahkan segi-segi obyektif akan bidang laksmiwidya. Dalam hubungan pop yang cepat mengantarkan penggarapnya menjadi kaya, Suka Hardjana dalam pertemuan redaksi Tempo berkata,”Pemusik pop itu orang-orang yang dikasihani Gusti Allah.” Apa sebab? Katanya,”Mereka itu sebetulnya bodoh, tidak mengerti apa-apa soal music, tapi menghasilkan uang dengan music.” Kata-kata Hardjana yang beralasan ini memang dimaksudkan khusus untuk maksud Indonesia—bukan pop dalam acuan yang diterima di dunia Barat—walaupun harus pula diakui bahwa pada awal tumbuhnya istilah pop di sana, berlaku juga penilaian yang melecehkan.Istilah pop baru lahir setelah 1960.

Perkataan pop sama sekali tidak sama dengan popular, kendati harus pula diakui bahwa perjalanannya niscaya berkesinambungan.Perkataan pop pertama kali digunakan oleh Gerakan seni rupa yang dipelopori pelukis-pelukis Inggris dan Amerika, seperti R.B.Kitaj, Tom Wesselmann dan Roy Lichtenstein, sebagai visi baru di antara pasca-ekspresionisme:kubisme, dadaisme, pop art, dll kea rah happening art, intimity art, neoprimitif sampai Cobra.Dalam prayojana yang pertama diarahkan tahun-tahun awal tumbuhnya pop, dapat dilihat akan kukuhnya landasan sika papa yang lazim dihembus-hembuskan sebagai “perlawanan terhadap kemapanan” (anti establishment).Pernyataan ini memang sangat kontekstual dalam Sejarah kebudayaan Barat yang secara kategorial dapat diselusuri perubahan demi perubahan sejak Yunani Klasik sampai sekarang, dengan melewati zaman Abad Tengah yang merupakan abad pemantapan Kristen, lalu renggangnya Kristen dengan humanisme dalam Renaisans, abad Aufklarung, dst.Maka, dengan meniti permasalahan kebudayaan Barat itulah, jelas bahwa timbulnya sikap pop yang diperciri antara lain dengan penyederhanaan untuk tidak mengatakannya sebagai penyepelean atau pendangkalan, adalah pada galibnya kontekstual sekaligus relevan.Barang rampung dari kebudayaan Barat ini diterima langsung Indonesia sebagai “seni wedihan” (applied art).Tanpa memasuki sejarah kebudayaan yang rumit seperti bangsa Barat, sekonyong-konyong Indonesia masuk di dalamnya. Sebetulnya kelas pop adalah musik yang sosiologistik.Tidak usah dibicarakan di sini mengenai ilmu dan filsafat.

Dalam Sejarah pop Indonesia, kehadirannya mau tak mau mesti dilihat secara politis.Waktu itu, dunia pop seluruh dunia dikuasai oleh Elvis Presley.Tak terkecuali Indonesia menjalar penyakit Elvismania, yaitu budaya anak muda untuk hidup menurut gaya Elvis Presley: pakaian, jambul, Sepatu, dll.Melihat itu, timbul keberatan atas nama “kepribadian nasional”, yang sebetulnya hanya manipulasi dari kepentinagn  PKI.Demi kepribadian nasional itu, Bung Karno, dalam pidato Manipol Usdek tahun 1959, melarang semua corak pop yang laku waktu itu, yaitu rock dan cha cha cha.Sejak itu timbullah janin “pop Indonesia” melalui penggalian lagu-lagu rakyat  atau lagu daerah.Apa yang disebut “penggalian” itu, sebetulnya adalah cara yang tidak kehabisan akal dari anak muda Elvismania untuk mengalihkan gaya Elvis Presley lewat lagu-lagu daerah:Betawi, Minang, Batak, Makasar, Ambon, dst.Yang pertama kali punya gagasan melakukan ini adalah Oslan Hussein lewat lagu Betawi Lenggang kangkong dan lagu kroncong Bengawan Solo; setelah itu diikuti oleh yang lain-lain.Baru menjelang dilangsungkannya Asian Games di Jakarta, muncul lagu-lagu berbayang Elvismania yang gilirannya dicipta baru dan menggunakan Bahasa Indonesia.Contoh paling tepat untuk ini adalah Patah hati ciptaan dan nyanyian Rachmat Kartolo.Sejak itu hingga kini pop Indonesia berjalan tenang.Artinya, tidak terlihat adanya perubahan dari generasi ke generasi dalam hal mengungkapkan perasaan liris.Tahun 1963 nyanyian Rachmat Kartolo dimaki-maki sebagai lagu cengeng.Terbukti selama perjalanan seperempat abad, lagu pop Indonesia tetap saja cengeng.

Tahun 1988, tepat seperempat abad, malahan Menteri Penerangan  RI, Harmoko menggunakan  wewenangnya untuk melarang lagu cengeng di TVRI.Keputusan yang bagus itu ternyata tidak tahan lama.Begitu pudarnya gaung larangan itu, muncul lagi secara perlahan-lahan lagu-lagu cengeng di TVRI.Akhirnya kesimpulan orang, cengeng yang menjadi pilihan pemusik pop Indonesia disebabkan mereka tidak punya pilihan lain.Akan sangat berbeda jika diperhatikan perjalanan pop dalam budaya Barat.Setiap nama baru yang hadir dengan hit—yang berarti menjaula gagasan di pasar—selalu ditandai dengan wawasan baru.Ketika Beatles hamper berada di hari sore, telah muncul nama Led Zeppelin dan Deep Purple yang menawarkan pula wawasan baru. Dalam keadaan begitu, muncul pula Queen secara mengejutkan dengan wawasannya.Ini terus berlanjut, dan orang akan melihat perubahan-perubahan wawasan dalam Police, Michael Jackson, Frankie Goes To Hollywood, sampai RAP.Wawasan yang dimaksud, bukan saja berkaitan dengan pandangan estetik, tetapi juga moral. Di Indonesia tidak terjadi perkembangan seperti itu, dan sebaliknya mandek dalam cinta picisan, yakni cinta yang melulu melihat dari segi daging dan bukan etik, karena memang tidak berlangsung semacam dorongan institusional di kalangan penggarap-penggarapnya.

Dengan tidak berlakunya dorongan institusional, maka berlaku pula kepercayaan baru, bahwa ilmu tidak perlu, sebab rumus pop adalah laku di pasar saja.Istilahnya, “meledak” di pasar. Cara meledakkan pop adalah terang-terangan melalui iklan di TVRI. Sebelum ada larangan iklan di TVRI, rekamannya dipasang beberapa kali. Taktik dagang seperti ini ternyata berhasil.Biasanya perusahaan kaset juga menggunakan halaman iklan surat kabar yang isinya menyuruh khalayak menyaksikan kasetnya di sana.Kecurangan terjadi, ketika tiba-tiba hari yang sudah diumumkan lewat iklan koran itu, ternyata dicabut di TVRI.Pencabutan itu adalah sepenuhnya permainan, yakni alasan ini-itu, yang membuat pengusaha kaset menjadi tegang, dan akhirnya mesti mengeluarkan biaya tambahan.Alasan yang kedengarannya masuk akal waktu  itu adalah bahwa penyanyi yang diiklankan lewat TVRI harus lulus dulu tes yang dilakukan tim audisi.Kenyataannya tanpa lulus tes pun, jika ada persekongkolan di balik layar, persoalannya beres.Praktik ini diungkapkan olah majalah Aktuil dalam bentuk serial yang menyebabkan beberapa karyawan yang terlibat langsung dimutasikan.Padahal, sebetulnya iklan tidaklah salah sama sekali, mengingat bahwa keuntungan produser untuk sebuah rekaman yang meledak, luar biasa fantastisnya.Ini berbicara dalam kaset niaga.Namun, memang terjadi benturan nilai yang merepotkan di Indonesia sejak pop menjadi salah satu kebutuhan yang diikatkan dengan masalah politik:sejak Bung Karno geram pada tahun-tahun awal bangkitnya seni wedihan ini.Selalu terjadi saling pendapat, karena di satu pop adalah gejala seni, yang dalamnya memang bertalian dengan kebudayaan, sementara di pihak lain berlangsung tuntutan menyiapkan pop sebagai kepentingan politik.Pada konteks terakhir inilah, mengapa penyelenggaraan festival di Tokyo untuk jangkauan internasional, menjadi sangat tajam bagi kalangan tertentu di Indonesia.Tidaklah heran, mengapaberita tentang Hetty Koes Endang memperoleh penghargaan  di Chile, diberitakan berkali-kali di TVRI, sementara penyair Rayani Sriwidodo memperoleh hadiah sastra dalam sayemabara Nemis Prize yang juga dilangsungkan  oleh pemerintah Chile, tak seorang pun tahu.Jawabannya, bahwa Indonesia lebih memperhatikan pop memang tidak dapat diingkar lagi.Masyarakat terlen dengannya, dan banyak orang  mengambil sikap untuk turut masuk dalamnya.Sampai dengan kalimat terakhir ini, kelihatannya hanyahukuman melulu bagi pop Indonesia, seakan-akan tiada harapan apa-apa lagi.Jika orang berpikir begitu,itu tidak adil pula.Ada beberapa penyanyi yang ternyata memiliki pandangan jernih terhadap masalah yang berhenti pada kecengengan cinta setealh 1980-an.Contoh paling berhasil adalah Ebiet G.Ade.Nama-nama yang lain seperti Doel Soembang, Iwan Fales, Leo Kristi dan Franky &Jane adalah sebagai pelengkap. (SUMBER: Japi Tambajong, Ensiklopedi Musik Jilid 2 halaman 121-122, PT Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1992.KOLEKSI:Museum Musik Indonesia).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here