
Oleh Suka Hardjana
Pada bagian ini terlebih dahulu saya ingin menggarisbawahi frasa kalimat…para pencipta lagu…dan…(ber)kebangsaan Indonesia. Tentu saja sebutan’(ber)kebangsaan Indonesia’ itu adalah konotasi sebutan kita pada hari ini–ketika kesadaran tentang ‘yang Indonesia’ itu telah terbentuk dalam keniscayaan koknisi kita sehari-hari.Tidak demikian halnya, apabila memori kita ditarik mundur ke masa-masa awal abad 20–di mana yang disebut ‘Indonesia’ memang belum diakui.Ia baru terbangun secara historis melalui gerakan sumpah pemuda, 28 Oktober 1928.Sebelum itu memori tuan-tuan pencipta lagu-lagu Indonesia itu masih berada pada siklus ingatan inlander dan pribumi.Hanya kaum kulit putihlah-lah yang mencipta lagu, musik dan mengoperasikannya sebagai hiburan di waktu senggang.Terma ‘hiburan di waktu senggang’ ini secara historis bersifat sugestif dan traumatik, seperti nanti akan diuraikan pada dua bagian akhir tulisan ini.Trauma waktu masa lalu (kolonial) inilah yang menjadi penyebab mengapa kita tidak berkutik menghadapi perkembangan musik dan seni pada umumnya saat ini: hiburan di waktu senggang !
Sebutan pencipta lagu dipakai sebagai penanda identifikasi (pekerjaan) musik yang dikenakan kepada para pembuat lagu.Tetapi secara umum masyarakat belum begitu faham mengenai hal ini.Mereka sering mencampuradukkan perbedaan pengertian antara pencipta lagu, komponis, arranger, musikus, musisi, maestro dan sebagainya.Tak jarang kesalahpahaman itu berakibat aneh-aneh, seperti misalnya menyangkut soal undang-undang hak cipta, royakti, status jabatan profesi-sistim penggajian honor dan pendapatan menurut fungsi dan tanggungjawab tugas dan pekerjaan. Misalnya, seorang pencipta lagu ‘dihargai’ sama dengan seorang arranger, composer, dirigen, atau pemain.Indonesia memang belum mengadopsi undang-undang yang mengatur pekerjaan para seniman.Mereka masih diatur berdasarkan peraturan pegawai-negeri atau swata–atau berdasar patokan pekerjaan..kaum buruh !
Setiap lagu yang dikenali penciptanya–di diproduksi (dicipta, ditulis) oleh seorang pencipta lagu–kecuali lagu-lagu (rakyat) yang tidak dikenali pengarangnya (n.n)–adalah merupakan hak milik pembuat ([engarang) lagu itu.Dalam konteks hukum, lagu-lagu anonim dikuasai oleh negara berdasar undang-undang milik negara.Sejauh suatu lagu diknali penciptanya, maka hak hukum atas karya cipta itu diberikan kepada penciptanya.Para pembuat lagu ini disebut sebagai pencipta lagu atau song writer.Bila lagu atau lagu-lagu itu kemudian “diorkestrasi” oleh penciptanya atau orang lain–maka para penata (penggarap) lagu ini masuk dalam klasifikasi penata lagu atau arranger.Jadi tugas seorang arranger adalah menata lagu (polos) ke dalam organisasi bunyi(-bunyian) yang disebut instrumentasi atau orkestrasi.Pengertian orkestrasi di sini tidak harus menunjuk adanya orkes ! Sebuah lagu (vokal) juga bisa diorkestrasi ke dalam bentuk partisi piano atau instrumen lain (instrumentasi).Para pencipta lagu (ber)kebangsaan Indonesia pada awal abad 20 itu semuanya memang hanya song writers–bukan penata musik (arrangers)–atau komponis (composer).
Para pencipta musik yang tidak hanya mencipta lagu digolongan sebagai arrangers dan atau komponis (composer).Seorang komponis tidak hanya mencipta atau menata lagu, tetapi mencipta karya musik–vokal dan atau instrumental secara keseluruhan.Sebagai contoh: L.Manik atau W.R.Soepratman itu pencipta lagu.Mereka tidak pernah menata musik atau menulis karya musik vokal-instrumental, secara keseluruhan.Mochtar Embut, Sudharnoto, Iskandar, Syaiful Bachri, dan Ismail Marzuki adalah pencipta lagu sekaligus penata musik (arranger).Tetapi mereka bukan composer (komponis).Dalam perkembangan sejarahnya, profesi arranger di Indonesia baru muncul tahun 1950-an.Sementara profesi komponis di Indonesia baru muncul tahun 1960-an, antara lain Amir Pasaribu, slamet Abdul Syukur, Jaya Suprana, Toni Prabowo (lihat 2 bagian akhir tulisan ini).
Hampir semua pencipta lagu Indonesia yang ‘berfaham’ kebangsaan lahir pada awal abad 20.Beberapa dari mereka antara lain adalah: W.R.Soepratman, Jakarta 1903-1934; Koesbini, Mojokerto 1910-Yogyakarta 1992; Ismail Marzuki, Jakarta 1914-1958; Gesang, Solo 1917-2009; Cornel Simandjoentak, Pematang Siantar 1920-Yogyakarta 1946; Syaiful Bachri, Payakumbuh 1920-Tokyo 1976; Iskandar, Jakarta 1922-1978.
Ciri-ciri lagu mereka hampir semuanya serupa.Lagu-lagu pendek dalam bentuk nyanyian atau lagu biner (song form atau lieder) sederhana bermatra 16 sampai 32 birama (bars), bertempo lambat atau sedang dengan durasi sepanjang 3-3,30 menit; Lagu-lagunya berciri merdu merayu dengan syair dan melodi yang indah, mudah diingat dan tidak begitu sulit untuk dinyanyikan.Hal ini bisa diphami, karena lagu-lagu mereka memang dibaktikan untuk kepentingan orang banyak (nasional) dalam konteks kemerdekaan.Liriknya mengandung puji-pujian tanha air nsa dan bangsa, keindahan alam atau cintah kasih asmara dan kritik sosial.
Ada satu hal yang sebenarnya luput dari perhatian kita, tetapi sesungguhnya patut mendapat acungan jempol.Di samping kesetiaan mereka pada pengabdian kepentingan bangsa, negara dan tanah air–hal lain yang patut kita hormati adalah bhawa semua lagu-lagu mereka pada awal perjuangan kemerdekaan itu telah ditulis seratus persen hanya memakai bahasa Indonesia ! Kini kita memandangnya sebagai hal yang lumrah.Tidak demikian halnya pada masa itu–bila kita menyadari bahwa pada masa awal kemerdekaan, bahasa Indonesia masih merupakan bahasa baru lingguafranka yang sulit dipelajari oleh lidah-lidah kedaerahan.Sulitnya belajar bahasa Indonesia pada waktu itu, karena bahasa Indonesia masih menjadi bahasa ketiga sesudah bahasa daerah dan bahasa Belanda–atau bahasa asing lainnya (Jepang) yang dipaksakan sebagai bahasa ‘resmi’ dan bahasa status sosial.Sampai tahun 1950-an–kecuali para politisi, sastrawan dan wartawan–semua orang masih gagu menggunakan bahasa Indonesia. Cornel simandjoentak adalah satu-satunya pencipta lagu yang menggunakan puisi para penyair Indonesia untuk lirik lagu-lagunya.Dalam komunikasi keseharian mereka, bahasa Belanda masih menjadi bahasa komunikasi preestise yang tak dipahami oleh rakyat biasa,Dalam karya musik, mereka sepeuhnya hanya menggunakan bahasa Indonesia !
Ciri lain dari para pencipta musik modern Indonesia itu adalah, bahwa mereka adalah orang-orang yang tergolong terdidik di sekolah-sekolah umum Belanda, seperti Hollands Inlandsche School atau HIS dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO.Sekolah-sekolah Menengah Pertama dan Atas adminsitrasi Belanda itu memiliki disiplin pengajaran dan kurikulum yang baik, sehingga murid-murid pribumi yang lulus dari pendidikan sekolah Belanda itu memiliki privilege sebagai orang-orang terpelajar yang disegani di lingkungan mereka.Sebagian besar pemimpin pergerakan nasional Indonesia juga memiliki pendidikan setingkat HIS dan MULO atau lebih.Mereka dikenal sebagai kaum terpelajar pribumi yang memiliki apresiasi pengetahuan dan seni yang baik.
Para pelopor musik baru Indonesia itu dikenal memiliki apresiasi musik yang baik dibangku sekolah, sehingga tidak mengherankan bila mereka telah mahir menulis begitu banyak lagu-lagu merdu dalam bentuk binery song form dua-tiga stansa liris-yang menjadi cikal bakal musik lagu-lagu Indonesia di alam kemerdekaan.Dari sinilah perkembangan lagu-lagu populer Indonesia dimulai (baca lebih lanjyt dua bagian akhir tulisan ini.
(BERSAMBUNG)
*Sumber artikel: Seabad Sesudah Ismail Marzuki.Mencari yang belum ketemu.Kronik ringkas perkembangan musik modern (di) Indonesia awal abad 20 hingga kini oleh Suka Hardjana.Disampaikan dalam Seminar sehari dan peluncuran buku dalam rangka Seabad Ismail Marzuki dan 75 Tahun Suka Hardjana, Musik Humaniora.Diselenggarakan Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 30 Mei 2004 di Ruang Koendjono Universiats Sanata Dharma.
Terima kasih kepada Keluarga Bapak Suka Hardjana (alm) dan Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
**Foto Ismail Marzuki dari wikipedia.
