Wage Rudolf Supratman

0
Wage Rudolf Supratman (1903-1938).Dok.Wikipedia

Pencipta lagu, wartawan, violis yang lahir di Meester Cornelis (Jatinegara) tahun 1903 dan wafat 17 Agustus 1938.Berbeda dengan pribumi yang lain pada zaman penjajahan yang hidup tertekan oleh perbedaan warna kulit, maka Supratman memulai hidupnya dengan cukup leluasa di Makasar (Ujungpandang).Sebelum ia dibawa ke Makasar, ia masih sempat bersekolah di Boedi Oetomo di Batavia.Ayahnya seorang pensiunan sersan KNIL Ketika ibunya wafat.Karena kematian ibunya itu, ia pun dititipkan kepada kakak dan kakak iparnya yaitu Roekijem Soepraijah dan WM van Eldik seorang administrateur gewapende politie. Di Makasar van Eldik menyekolahkannya ke Europese.Lagere School—sekolah dasar khusus bangsa kulit putih.Bisa terjadi begitu, sebab Eldik mengaku sebagai ayahnya. Untuk itulah, maka nama jawanya yang khas, Wage, yang merupakan hari pasaran dalam kalender Jawa, terpaksa harus ditambah lagi dengan nama “barat”, yaitu Rudolf.Sayang, kepala sekolah segera tahu bahwa Supratman bukan anak kandung Eldik, dan oleh sebab itu ia terpaksa keluar.Diam-diam, akibat peristiwa itu, telah timbul suatu semangat nasionalisme dalam dirinya, yang ia sendiri tidak tahu namanya.

Akibat dikeluarkannya ia dari sekolah itu, maka lambat laun terlahir dalam dadanya untuk ikut berjuang merombak Regeering van Nederlandsch Indie dengan suatu revolusi yang menjadikannya sebagai Republik Indonesia.Semangat itu telah tumbuh, walaupun pada tahun itu belum muncul nama Bung Karno.Bersamaan dengan itu bakat musiknya ditempa terus.Ia berlatih biola dan gitar.Pendidikan dasarnya adalah terpaksa Sekolah Melayu.Eldik tetap mendorongnya untuk maju.Eldik pulalahyang memberinya biola.

Sambil berkesenian, ia tekun pula belajar Bahasa Belanda.Tahun 1919 ia lulus ujian dengan diploma Belanda, Klein Amtenaar Examen.Ini membuka kemungkinan baginya untuk melanjutkan lagi ke Normaal School—kira-kira sama dengan SPG sekarang, tapi dengan mutu yang berbeda tentunya.Ia pun diangkat menjadi guru di Makasar.Dan sambil mengajar, ia melanjutkan bakatnya di bidang musik.Tahun 1920 ia mendirikan band jazz yang dinmakannya Black and White, terdiri dari 6 orang musikus, masing-masing 2 alat gesek, 1 gitar, 1 banjo, 1 juk, dan 1 drum.Lewat band inilah berlaku kalimat yang di atas tadi bahwa ia memulai hidupnya dengan cukup lelauasa.Sebab, dengan band ini dihargai oleh orang-orang Belanda sebagai partner dalam hiburan.

Sementara itu pekerjaannya sebagai guru mengharuskan ia meninggalkan Makasar menuju Singkang.Di kota kecil itu memang tak memungkinkan baginya untuk terus bermusik.Akhirnya ia minta berhenti sebagai guru, dan selanjutnya bekerja sebagai klerk di Firma Nedem. Namun bekerja di situ pun tak membahagiakan batin, sehingga ia keluar lagi dan selanjutnya bekerja di kantor advokat Mr.Schulten, teman baik iparnya.Tahun 1924 ia ke Jawa, menetap beberapa saat di Cimahi, di rumah ayahnya, Djoemeno Senen Sastrosoehardjo.Di sini ia belajar menulis, dan diterima sebagai wartawan Kaoem Moeda di Bandung.Ia berjumpa dengan Harahap yang kemudian mengajaknya bekerja di Jakarta pada kantor berita Alpena yng berhalauan nasionalisme.Tetapi kantor berita itu terpaksa ditutup, dan sejak tahun 1926 ia menjadi wartawan Sin Po.Pekerjaannya sebagai wartawan inilah yang menyebabkan ia berkenalan dengan para pemikir nasional yang bersusah payah Menyusun gagasan tentang Indonesia Merdeka.Pidato Bung Karno pun segera membakar semangatnya.Dari sanalah lahir Indonesia Raya.Lagu ini dibuat rekamannya oleh Tio Tek Hong, dan dinyanyikan dalam Kongres Pemuda di Jakarta.Karena lagu ini ia pun sering dibuntuti Belanda.Lama-lama keadaan batinnya tidak tenang.Belum lagi perasaan kosongnya karena sejauh itu belum juga mengalami jatuh cinta.

Ketika ia wafat dalam keadaan papa di Surabaya, ia masih hidup seorang diri.Boleh dikata, sampai usianya lebih 35 tahun, ia belum pernah hidup di bawah atap yang menjadi miliknya sendiri, baik itu sebagai rumah kontrak atau sewa, maupun rumah pribadi.Ketika akhirnya ia pindah ke Surabaya setelah merasa kesepian di Jakarta, ia Kembali tinggal Bersama kakaknya, Ny.Eldik.Di kota ini keadaan tubuhnya makin buruk.Walau begitu, ia sempat menviptakan mars untuk partai pimpinan Dr.Soetomo.sesaat Ketika ia sehat, ia sempat bermusik lagi, dan bermain di NIROM.Pada 7 Agustus 1938, ia memperkenalkan karyanya yang baru lewat NIROM, yaituMatahari terbit.Belum lagi lagu itu selesai, dating ke studio dua orang anggota PID yang menginterogasinya.Sepuluh hari setelah peristiwa itu, keadaan tubuhnya yang kian rapuh tak dapat dipertahankan lagi untuk tegar seperti semangat nasionalismenya.Ia wafat pada jam 12.00 malam di Jalan Mangga 21, daerah Tambaksari, Surabaya, dan kemudian dikebumikan secara Islam di Kuburan Umum Kapas, juga daerah sekitar Tambaksari.

Setelah Indonesia Merdeka, diselidiki dengan serius  apakah benar Supratman tidak menikah dan tidak punya ahli waris.Menjadi ramai karena tiba-tiba muncul seorang Wanita Bernama Ny.Salamah yang mengaku pernah menikah dengan Supratman, dan hidup bersamanya selama 17 tahun. Ny.Salamah kepalang telah menerima Bintang Mahaputra Anumerta III yang dianugerahkan pemerintah bagi suaminya.Peristiwa itu segera diributkan,  karena Ny.Roekijem Soepraptijah, atas nama ahli waris lainnya, mengajukan surat permohonan kepada Menteri P & K, Prof.Dr Prijono, tertanggal 25 Januari 1951, yang isinya adalah terkejut oleh hadirnya nama Ny.Salamah.Permohonan kakak Supratman itu dilampirkan dengan surat Keputusan Pengadilan Negeri Surabaya tertanggal 12 Agustus 1958 yang menetapkan bahwa ahli waris Supratman adalah saudara-saudaranya: Ny.Roekijem Soepratijah, Ny.Roekinah Soepratirah, Ny.Ngadini Soepratini, dan Ny.Gijem Soepratinah.Dengan surat itu pula maka melalui Berita Acara Departemen Kesejahteraan Sosial tertanggal 23 November 1961, dinyatakan bahwa Ny.Salamah tidak berhasil menunjukkan surat kawin yang sah, dan harus mengembalikan Bintang Mahaputra Anumerta III beserta piagamnya kepada Departemen Kesejahteraan Sosial.

Karya-karyanya yang penting di luar Indonesia Raya yang diterima sebagai lagu kebangsaan Indonesia dan ditetapkan pertama kali pada 8 September 1944-jadi setahun sebelum proklamasi—adalah Ibu kita Kartini (yang melodinya dalam beberapa bar mirip dengan Inani Keke dan O  Lelebo); Bendera kita; Indonesia Ibuku; Bangunlah hai kawan; dll.Adapun lagu kebangsaan Indonesia Raya pun tak sepi kritik dan tuduhan sebagai karya plagiat.Orang pertama yang mengatakan Indonesia Raya sebagai plagiat dari Lekka-lekka atau Pinda-pinda adalah Amir Pasaribu.

(SUMBER: Japi Tambajong, Ensiklopedi Musik Jilid 2  halaman 260-262, PT Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1992. KOLEKSI: Museum Musik Indonesia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here